Pengertian agama, A-gamma menurut Sansekerta: a= tidak, gamma= kacau. Jadi artinya tidak kacau.
Agama dari segi pendapat para ahli diartikan sebagai kebenaran umum yang memiliki akibat mengubah karakter orang apabila dikuti dengan tulus dan diyakini secara penuh.
Manusia sering menempatkan Tuhan sebagai God of the gap. Tuhan akan dihadirkan apabila manusia tidak dapat menyelesaikan suatu permasalahan ( hanya Tuhan yang tahu) tetapi ketika manusia bisa menyelesaikannya, Tuhan akan dikesampingkan dan logika manusia yang bekerja.
Krisis epistemologis agama. Menurut Arthur D’Adamo kriris itu berakar dari cara pandangan agama yang mengklaim bahwa teks-teks kegamaan itu penuh dengan claim of truth and claim of salvation karena dianggap : konsisten dan bebas dari kesalahan, lengkap dan final, satu-satunya jalan keselamatan, ditulis atas wahyu Tuhan Yang MahaKuasa.
Pandangan sosiologis. Klaim kebenaran dan klaim kegamaan ini secara sosiologis telah mendatangkan banyak konflik sosial politik, juga perang antar agama. Konflik ini akhirnya melahirkan prasangka epistemologis berupa pembenaran diri sendiri (Self fulfilling Prophecy) karena mengasumsikan keabsolutan agamanya.
Menurut Alfred Whitehead. Ia menolak pandangan Durkheim bahwa agama adalah fakta sosial (Agama selalu berkarakter Komunitarian). Menurutnya agama justru berkarakter individual, bukan sosial. Whitehead mengatakan “Agama adalah apa yang dilakukan manusia dengan kesendiriannya (Solitariness).” Latar belakang pemikirannya ini adalah menurut sejarah, agama itu tumbuh secara gradual karena adanya kebutuhan manusia. Masuknya kebutuhan itu bertahap mengikuti urutan, yaitu :
1. Ritualisme. Asal usulnya dapat dilacak dari era prasejarah. Ritual fisik juga dapat dilihat pada binatang. Dalam dunia hewan, gerakan-gerakan fisik ini secara psikologis juga penting untuk membuang energi berlebih dan untuk mengisi waktu. Gerakan yang terus berulang-ulang akan berguna untuk membangkitkan emosi tertentu.
2. Tahap emosi, merupakan unsur ikutan dari ritual, berguna mempertajam kepekaan organisme, sering dianggap sebagai indikator kedalaman penghayatan. Emosi yang melibatkan orang banyak biasanya lebih disukai. Ritual dan emosi ini diberi penekanan dengan memusatkan pemujaan pada Holy Person (Nabi), atau (Holy Thing) (benda tertentu). Untuk mempercepat proses ini, digunakan sistem tanda yang menurut Charles Sanders Pierce dibedakan menjadi : Ikon (Tanda dan yang ditandai memiliki kemiripan, contoh Patung), Indeks (Tanda dan yang ditandai memiliki kedekatan eksistensi, contoh Peta), dan Simbol (Tanda yang ditandai berhubungan secara abstrak, contoh Lambang Negara)
3. Kesaksian Iman. Pada tahap ini agama masih bersifat sosial, dan agama juga menjadi agen formatif baru bagi kebangkitan manusia. Disini diciptakan kultus-kultus yang diyakini oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan sebagai kebenaran. Pada tahap ini muncul dewa-dewa baru, imam kudus, santo, dll yang member konfirmasi atas keimanan itu. Whitehead mengingatkan pada tahap ini agama bisa “mandeg” jika tidak didorong ke tahap berikutnya.
4. Tahap rasionalisasi. Pada tahap ini agama mendapat rasionalisasi secara individual bahwa “orang yang tak pernah sendiri, tak pernah religius.” Pada tahap ini agama bersentuhan dengan intuisi religious sedikit orang (Insight Individual). Agama rasional baru dapat muncul jika konsep-konsep umum dan intuisi-intuisi etis yang relevan sudah berkembang dalam kesadaran manusia. Pada tahap ini juga hasil insight individual itu telah menerobos sekat-sekat sosialnya. Inilah tahap yang ideal.
Ada empat kecenderungan agama dewasa ini, yaitu
1. Deism (faith without religion)
Merupakan ramalan John Naisbitt dan Patricia Aburdene: “Spirituality, yes. Organized religion, no”. Formalitas agama terbukti telah mempersempit pesan-pesan universalitas mereka. Agama-agama yang terorganisasi (Yahudi, Nasrani, Islam, dst) diramalkan tidak memiliki masa depan, yang bertahan adalah pesan-pesan universalnya.
2. Gerakan falsafah kalam (Theophilosophical Movemenet)
Gerakan ini bertolak dari temuan-temuan ilmiah (khususnya ilmu eksakta). Agama merespons temuan-temuan ini dan menyesuaikan kajian-kajiannya dengan merangkul ilmu pengetahuan. Agama tetap dijadikan sebagai orientasi perkembangan ilmu pengetahuan.
3. Skriptualis-ideologis
Mengembalikan agama menurut apa yang tertulis dalam teks kitab suci. Manusia dalam tingkat kognisi tertentu dalam beragama, kerap berada dan harus melalui tahapan ini. Agama dieksklusifkan dengan menyatakan kebenaran hanya pada kelompoknya sendiri, bahkan cenderung memusuhi agama lain. Di Indonesia pandangan demikian cenderung disalahtafsirkan sebagai gerakan “kebangkitan kembali Agama”.
4. Kebangkitan etno-religius
Dipicu perlawanan secara emosi atas hegemoni barat secara politik dan ekonomi (gerakan radikalisme Islam, Kristen, dll) atau dipicu oleh keterkepungan secara geopolitik (gerakan zionisme Israel, dll).
Hukum Agama dan Norma Sosial
Kosep Laicite, dicantumkan dalam Pasal 1 Konstitusi Perancis, bahwa pada prinsipnya Perancis adalah republik yang sekuler. Pemerintah tidak mencampuri urusan agama. Sejak abad ke-20, Pemerintah Perancis menerapkan perlakuan yang sama bagi semua agama (tak ada mayoritas dan minoritas). Tahun 2004 Perancis memberlakukan prinsip Laicite ini dengan melarang penggunaan simbol agama di sekolah-sekolah negeri.
Konsep Civil Religion, Amerika menganut “a common civil religion” dengan kepercayaan, nilai-nilai, hari raya, dan ritual tertentu, yang sejalan dengan kebebasan rakyatnya untuk memilih agama. Tidak ada agama yang dibiarkan menjadi agama negara. Diskursus dalam politik dan kenegaraan senantiasa dijauhkan dari terminologi agama. Namun dalam penelitian menunjukkan, orientasi agama kerap dipakai dalam mendulang suara dalam pemilu.
Beberapa sebutan lain yang pernah dipakai dalam Konsep Civil Religion adalah :
1) Common Faith (John Dewei)
2) Common Religion (Robin Williams)
3) Religion in General (Martin Marty)
4) Religion of the Republic (Sidney Mead)