Senin, 16 Mei 2011

Proses Sosial

Proses Sosial
Sosiologi mengkaji masyarakat baik dalam keadaan diam maupun bergerak.  Istilah "proses sosial" menunjukkan sisi dinamis (gerak) dari masyarakat. Inilah yang membedakannya dengan analisis terkait struktur sosial yang lebih menunjukkan sisi statisnya.

Proses sosial adalah cara berhubungan timbal-balik (saling mempengaruhi) di antara individu/kelompok manusia. Proses sosial ini mendorong munculnya PERUBAHAN SOSIAL. Bentuk-bentuk (pola) hubungan ini disebut INTERAKSI SOSIAL. Semua bentuk interaksi sosial memerlukan adanya:
 1. KONTAK SOSIAL
     - bisa positif (ke arah kerja sama) atau negatif (konflik)
     - bisa primer (temu fisik) atau sekunder (via alat komunikasi)
 2. KOMUNIKASI
     - ada 5 unsur: komunikator, komunikan, pesan, media, efek
     - ada 3 tahap: encoding, penyampaian, decoding.

INTERAKSI SOSIAL sangat diminati sebagai objek kajian. Salah satunya dengan pendekatan yang disebut  interaksionisme simbolik. Dalam interaksionisme simbolik, suatu subjek bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimilikinya. Untuk itu dikenal ada 3 unsur penting yang berperan, yaitu: (1) ACT: seseorang bertindak; (2) THING: terhadap sesuatu; dan (3) MEANING: berdasarkan makna yang dimilikinya. Dalam perspektif ini, setiap tindakan bisa saja dimaknai berbeda oleh subjek-subjek yang berlainan. Dalam contoh di kelas dikemukakan tentang pembentuk undang-undang (subjek) yang memaknai perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974. Padahal, perkawinan itu sendiri mempunyai banyak makna. Seiring dengan perkembangan, boleh jadi pembentuk undang-undang (di DPR)sekarang inipun sudah memiliki makna baru lagi tentang perkawinan yang berbeda dengan rekan mereka pada saat membuat UU No. 1 Tahun 1974 itu.






Di sini terlihat ada interaksi makna-makna simbolik tentang perkawinan itu antara subjek dan objeknya. Jika subjeknya berubah, maknanya yang diberikan subjek-subjek itu juga sangat mungkin akan berubah dan hal ini akan mengubah wujud dari objeknya. Misalnya, pembentuk undang-undang mengubah (ACT) bunyi pasal tentang definisi perkawinan (katakanlah sekarang perkawinan tidak lagi diartikan sebagai ikatan batin antara pria dan wanita, tetapi ikatan batin antara sesama manusia), boleh jadi model perkawinan pun (THING) akan berbeda. Bukan mustahil perkawinan sesama jenis kelamin dimungkinkan.

Kualitas interaksi sosial itu dalam beberapa segi juga dipengaruhi oleh cara-cara berkomunikasi. Interaksi sosial yang berkualitas adalah interaksi sosial yang komunikatif. Ilmu-ilmu psikologi dan komunikasi dapat memberi kontribusi bagi sosiologi dalam pokok bahasan ini. Dalam perkuliahan di kelas sudah diberi contoh tentang wilayah teritorial manusia tatkala ia berinteraksi dan berkomunikasi, juga bahasa tubuh yang diperagakannya.

Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
Secara umum, interaksi sosial dapat dicermati bentuknya ke dalam dua kategori, yaitu interaksi sosial yang konstruktif (asosiatif) dan destruktif (disasosiatif). Masing-masing bentuk ini dapat dibedakan lagi menjadi beberapa pola:
1. ASOSIATIF
 a. Ko-operasi (kerja sama)
 b. Akomodasi
 c. Asimilasi
 d. Akulturasi
2. DISASOSIATIF
 a. Kompetisi (persaingan)
 b. Kontravensi
 c. Konflik (pertikaian)
ASOSIATIF:
1.a. Ko-operasiKo-operasi timbul karena orientasi individu yang sesuai dengan kelompoknya (in group) ada kepentingan yang sama. Tiga bentuk KO-OPERASI:
* Bargaining: Kerja sama berupa saling bertukar barang/jasa (contoh jual beli di pasar tradisonal).
* Co-optation:  Kerja sama dengan menerima nilai/unsur baru dari pihak yang lebih kuat posisi tawarnya. Contoh: jual beli dengan klausula baku.
* Coalition: Kerja sama dari beberapa pihak yang sebenarnya berbeda karakter/struktur organisasi, namun memiliki tujuan yang sama. Contoh: kerja sama partai politik membentuk kabinet.

1.b. Akomodasi. Akomodasi timbul karena para pihak berusaha untuk mencapai titik keseimbangan (equilibrium) untuk meredakan pertentangan mencapai kestabilan. Berbagai bentuk AKOMODASI:
* Toleration: Ada pihak yang untuk sementara menghindar.
* Coercion: Pihak yang lemah terpaksa menerima (misal perbudakan)
* Compromise: Para pihak saling menurunkan tuntutannya.
* Adjudication: Penyelesaian di pengadilan.
* Arbitration: Penyelesaiana dengan menunjuk pihak ketiga sebagai arbiter.
* Mediation: Penyelesaian dengan menunjuk pihak ketiga sebagai mediator.
* Conciliation: Penyelesaian dengan meminta pihak lain sebagai fasilitator.
* Stalemate:  Para pihak berhenti konflik karena terjadi deadlock (cold-war).

1.c. Asimilasi. Asimilasi timbul karena satu pihak mengidentifikasikan dirinya sama dengan pihak lain yang lebih dominan (meleburkan diri). Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya asimilasi antara lain adalah sikap toleran, siap membuka diri bagi orang asing, kesamaan tingkat kesejahteraan, persamaan budaya (agama, bahasa, adat istiadat, dll.), persamaan ciri fisik, perkawinan campuran (amalgamasi), ada musuh bersama, dan ada dukungan kondusif dari pemerintah.

1.d. Akulturasi. Akulturasi timbul karena beberapa pihak saling membuka diri sehingga ada unsur kebudayaan yang saling bertukar dan diterima penuh sebagai adat istiadat yang baru.


2. DIASOSIATIF:
2.a. Kompetisi. Kompetisi timbul karena ada perbedaan kepentingan di antara beberapa pihak, sehingga mereka saling berlomba memperebutkan satu posisi tertentu, baik yang pribadi (rivalry) maupun kelompok. Contoh: persaingan memperbutkan jabatan ketua senat mahasiswa atau persaingan menjadi juara lomba olahraga.

2.b. Kontravensi. Kontravensi timbul karena perbedaan pemahaman/pandangan pada satu pihak terhadap pihak lain, sehingga muncul sikap dan/atau perilaku menentang (namun belum sampai pada tahap penggunaan kekerasan). Contoh: kontravensi karena tradisi (diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya), kontravensi menyangkut perbedaan gender, atau bahkan kontravensi di bidang politik.
2.c. Konflik. Konflik timbul karena para pihak berusaha mencapai tujuan masing-masing dengan cara saling menentang pihak lawan dengan cara memberi ancaman dan/atau menggunakan kekerasan. Contoh: konflik pribadi; konflik rasial; konflik kasta/kelas sosial, dan konflik internasional (a.l. perang terbuka).
Menurut C.J.M. Schuyt (1981) ada enam cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik:
(1) Pihak yang satu menundukkan diri pada pihak lain
(2) Para pihak melakukan musyawarah
(3) Para pihak minta pihak ketiga menjadi perantara
(4) Diselesaikan melalui mekanisme pengadilan (hakim)
(5) Diselesaikan melalui solusi politik administrasi pemerintah
(6) Diselesaikan melalui tindak kekerasan.
Schuyt lalu mengembangkan hoefijzer model (model tapal kuda) yang dapat diilustrasikan sebagai berikut:



Model nomor 1 dan model nomor 6 sebaiknya dihindari, sedangkan yang paling ideal adalah model nomor 2, 3, 4, dan 5.

1 komentar: