Minggu, 19 Juni 2011

Tiga Tipe Hukum dari Nonet & Selznick

Tulisan di bawah ini diangkat dari dua buku. Pertama, karya dari Philippe Nonet dan Philip Selznick berjudul "Law and Society in Transition: toward Responsive Law" dan buku kedua berjudul "Politik Hukum di Indonesia" karya Moh. Mahfud M.D.

Philippe Nonet lahir dan besar di Belgia. Ia mendapat pendidikan hukum dan meraih doktor di bidang ini pada tahun 1961. Setelah itu ia belajar dan mengajar di bagian sosiologi UC Berkeley sebelum bergabung di Boalt Faculty pada 1977. Nonet adalah Charge de Cours pada the Universite Catholique de Louvain dari tahun 1966 sampai dengan 1970, seorang visiting professor di Universitas Bremen pada 1981. Sementara itu, Philip Selznick adalah professor emeritus of law and society pada UC Berkeley. Ia meraih gelar doktor tahun 1947 dari Universitas Columbia, tempat ia menimbah ilmu dari Robert K. Merton. Selznick dikenal sebagai penggagas teori organisasi, sosiologi hukum, dan administrasi publik. 
Philippe Nonet dan Philip Selznick adalah dua nama yang dikenal luas sebagai pencetus Teori Pembangunan Hukum (Development Theory of Law), suatu teori yang diangkat dari kajian hukum menurut perspektif ilmu politik. Dua nama ini, Nonet & Selznick kerap diperbincangkan karena mereka memperkenalkan tiga tipe hukum dalam teori pembangunan hukumnya, yaitu tipe hukum represif, otonom, dan responsif.

1. Hukum Represif:
Tipe hukum represif dapat dilihat dari adaptasi yang pasif dan oportunistis dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial-politik. Kata "adaptasi" menunjukkan hukum berada pada kondisi subordinat (di bawah pengaruh) sistem sosial dan politik. Bahkan, kekuatan orang-orang yang menjadi penguasa politik dapat menembus semua pintu masuk ke dalam "sistem" hukum. Hukum dikendalikan oleh figur tokoh politik yang paling berkuasa di negara itu. Kriminalisasi adalah bentuk yang paling disukai oleh para penguasa politik dalam mengontrol warga masyarakat agar selalu menaati kehendak pemerintah. Di sinilah wajah represif itu muncul. Hukum tampil dengan wajah menakutkan dan tanpa kompromi. Sebaliknya akses warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam hukum sangatlah sempit. Keberadaan dan keberlakuan hukum tidak perlu harus memperhatikan kepentingan warga yang diperintah. Pada tipe ini hukum dan politik merupakan satu kesatuan di dalam sistem pemerintahan.
2. Hukum Otonom:
Jika pada tipe hukum represif, FIGUR sang tokoh politik sangat berperan menentukan wajah hukum, maka pada tipe hukum otonom, wajah "orang" ini berganti menjadi "sistem negara hukum" (the rule of law; rechsstaat). Konsep the rule of law (lazim disingkat: RoL) ini merupakan reaksi negara atas gagasan-gagasan keterbukaan yang kerap datang dari masyarakat luas. Atas nama hukum, desakan-desakan demikian dapat diredam. Di sisi lain, dalam tipe negara hukum otonom, tertib hukum juga dugunakan untuk menjinakkan perilaku represif negara. Jadi, tipe hukum otonom ini ingin menjadi "penengah" bagi masyarakat dan penguasa agar kedua kekuatan itu tidak saling berbenturan secara destruktif. Untuk itulah RoL mengedepankan penyelesaian masalah melalui prosedur-prosedur tertentu. Keadilan pun pada akhirnya cukup dilihat sebagai keadilan prosedural (sesuatu dianggap adil sepanjang sesuai dengan prosedur). Namun, berbeda dengan tipe represif, pada tipe hukum otonom ini hukum sudah terpisah dari politik.

3. Hukum Responsif:
Sekalipun dapat secara kasatmata terlihat bahwa Nonet & Selznick ingin menempatkan tipe hukum responsif sebagai tahapan evolusi yang tertinggi (dibanding hukum represif dan otonom), keduanya tidak ingin menyatakan bahwa tahap inilah yang paling tepat untuk semua sistem hukum. Artinya, mereka melihat masing-masing negara dapat menyesuaikan sendiri kondisi sistem hukum negara mereka dengan perkembangan yang ada. Ada kalanya masyarakat membutuhkan tipe hukum represif beberapa waktu, sebelum beralih ke tipe otonom dan responsif. Pada tipe hukum responsif ini, kompetensi menjadi ukuran bagi warga masyarakat untuk memiliki akses berpartisipasi di dalam segala sistem kemasyarakatan. Di sini urusan prosedur bisa dinomorduakan, karena yang lebih penting adalah sisi substansinya. Pada tipe hukum inilah dikenal istilah keadilan substantif itu.
Dua tipe hukum yang pertama, yakni hukum represif dan otonom pada hakikatnya berada dalam kondisi tatkala suatu negara sedang memasuki tahap pembentukan tatanan politiknya. Jika pada tahap itu sumber daya elit pemerintahannya masih sangat lemah, maka corak hukumnya akan menuju ke tipe represif. Pada tahap ini seseorang atau sekelompok kecil orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan akan memaksimalkan kekuatannya untuk memaksakan pengaruhnya terhadap masyarakat luas. Apabila pengaruh elit kekuasaan sudah mulai sedikit melemah berhadapan dengan masyarakat, maka tahapan ini sudah mengarah ke tipe hukum otonom. Tatanan politik pada tipe hukum otonom ini masih mudah berubah, dan jika komitmen masyarakatnya tidak cukup kuat, akan mudah tergelincir kembali ke tipe hukum represif.

Seorang ahli hukum Indonesia, Moh. Mahfud M.D. pernah melakukan penelitian mengenai pengaruh konfigurasi politik di Indonesia terhadap karakter produk hukumnya. Beliau adalah guru besar dari Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta) dan saat ini menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam bukunya "Politik Hukum di Indonesia" (aslinya merupakan disertasi yang bersangkutan di Universitas Gadjah Mada), Mahfud ingin melihat apakah sistem politik tertentu memiliki dampak pada peraturan perundang-undangan yang lahir pada masa itu. Untuk itu, teori pembangunan hukum dari Nonet & Selznick ini dipakai sebagai kerangka acuannya. Konfigurasi politik yang dimaksud oleh Mahfud terbagi menjadi dua, yakni demokratis dan non-demokratis. Istilah terakhir ini disamakannya dengan otoriter. Mahfud melihat Indonesia pernah memasuki kedua model politik ini, yakni pada masa era sebelum Orde Lama (periode demokrasi liberal), era Orde Lama (periode demokrasi terpimpin), dan era Orde Baru. Karakter produk hukum yang diteliti oleh Mahfud meliputi peraturan perundang-undangan di bidang pemilihan umum, pemerintahan daerah, dan agraria. Ia melihat bahwa pada konfigurasi politik yang demokratis, produk hukumnya cenderung reponsif (=populistik); sebaliknya pada konfigurasi politik yang non-demokratis atau otoriter, kecenderungan produk hukumnya adalah konservatif, ortodoks atau elitis. Kesimpulan Mahfud adalah:

(1) Pada periode 1945-1959 (demokrasi liberal), konfigurasi politik Indonesia adalah demokratis, dan kecenderungan karakter semua produk hukum (pemilu, pemda, agraria) adalah responsif. (2) Pada periode 1959-1966 (demokrasi terpimpin), konfigurasi poltiknya adalah otoriter, dan kecenderungan karakter produk hukumnya di bidang pemda adalah ortodoks/konservatif/elitis, tetapi di bidang agraria menunjukkan tipe responsif dengan alasan-alasan tertentu; sedangkan untuk bidang pemilu tidak terdapat produk tersebut pada masa itu. (3) Pada periode 1966-1998 (Orde Baru) konfigurasi politiknya adalah otoriter, dan kecenderungan semua produk hukumnya adalah ortodoks/konservatif/elitis. Alasan-alasan tertentu yang dimaksud oleh Mahfud terjadi pada bidang agraria di era demokrasi terpimpin adalah terkait dengan keberadaan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini, menurut Mahfud bukan peraturan yang positivis-instrumentalis dan memperlihatkan karakter responsifnya dengan merombak seluruh sistem yang dianut oleh Agrarische Wet 1870, menghapus domeinverklaring, menghilangkan feodalisme dan segala hak konvesinya, menghilangkan dualisme huum sehingga tercipat unifiksi hukum, serta penegasan tentang melekatnya fungsi sosial atas hak atas tanah. Posisi  unik dari UUPA ini disebabkan oleh sedikitnya empat hal: (1) UUPA berasal dari rancangan zaman demokrasi liberal yang pengundangannya tertunda; (2) UUPA membalik dasar-dasar kolonialisme yang sudah pasti ditentang oleh semua pemimpin Indonesia baik yang demokratis maupun otoriter; (3) materi UUPA tidak menyangkut distribusi kekuasaan sehingga pemberlakuannya tidak akan mengganggu sebuah rezim otoriter sekalipun, dan (4) UUPA tidak hanya memuat aspek politik (hukum administrasi negara) tetapi juga memuat masalah-masalah privat (hukum perdata).

Jika demikian halnya kesimpulan Mahfud, kita dapat menyatakan bahwa UUPA sebagai contoh produk hukum yang berkarakter responsif di Indonesia tidak muncul karena adanya konfigurasi politik (secara makro) di Indonesia yang sudah demokratis. Dengan perkataan lain, kita juga dapat mengatakan bahwa dalam kondisi (alasan-alasan) tertentu, produk hukum responsif pun dapat saja muncul sekalipun di tengah konfigurasi politik yang otoriter sekalipun. Sampai pada titik ini Mahfud ingin mengatakan bahwa DEMOKRATISASI merupakan kata kunci untuk membawa negara kita menuju ke tipe hukum responsif itu.

Jumat, 17 Juni 2011

Pluralisme Hukum

Pluralisme terjadi dalam hal tersedia dan berlakunya beraneka hukum dalam suatu wilayah dan kurun waktu bersamaan. Ini berarti pada setiap komunitas terdapat dan berlaku hukumnya sendiri-sendiiri. Indonesia termasuk negara dengan tingkat pluralisme hukum yang tinggi.
Pluralisme hukum ini makin menjadi isu penting di Indonesia karena beberapa hal: (1) peninggalan produk hukum era Hindia Belanda yang belum tergantikan; (2) eksistensi hukum adat yang pada beberapa wilayah masih sangat kuat (dan mungkin makin menguat di tengah isu otonomi daerah); (3) penerapan hukum syariah pada beberapa wilayah; (4) dampak arus transnasional, khusus di lapangan hukum ekonomi; dan (5) tidak adanya desain sistem hukum nasional Indonesia.
Dalam perkuliahan telah ditunjukkan beberaa skema pembentukan hukum nasional dari Prof. Bernard Arief Sidharta dan Prof. Sunaryati Hartono. Dari kedua skema tersebut terlihat bahwa ada prioritas untuk membangun satu sistem hukum nasional yang kuat, yang berada di atas sistem-sistem hukum lain yang ada (seperti hukum adat dan hukum agama).
Di sisi lain, ada pandangan dari Charles Stamford (dalam bukunya "The Disorder of Law," 1989) yang menyatakan sistem itu telah mengalami kekacauan (khaos). Teori "Chaos" ini menyimpulkan: (1)  hukum BUKAN suatu sistem yang tertib-teratur (seperti diklaim kaum Positivis). Hukum itu cair (melee, disorder, a-simetris), sehingga memunculkan pluralitas, diversitas, multiplisitas; (2) hukum BUKAN realitas utuh yang bisa direduksi atau diprediksi, melainkan justru unpredictable; (3) hukum BUKAN sesuatu relasi yang seimbang, tetapi justru relasi yang timpang bergantung pada realitas kekuatan-kekuatan (kekuasaan) di dalam masyarakat; (4) hukum BUKAN yang narasi yang bebas nilai, namun perlu pemahaman hermeneutis dan timbal-balik antara penafsir dan realitas yang ditafsir. Di sini penggunaan logika sintetis lebih utama daripada logika oposisi binari (on-off logic).
Pluralisme hukum sendiri berkisar pada tiga pertanyaan dasar: (1) apakah hukum = hukum negara; apakah aturan normatif lainnya juga hukum?; (2) apakah pluralisme hukum suatu konsep hukum, konsep politik, atau konsep analitis komparatif?; (3) apakah konsep pluralisme hukum memungkinkan analisis tentang hubungan kekuasaaan di antara berbagai aturan hukum?
Perlu dicatat bahwa Pemerintah Hindia Belanda pernah mencoba menerapkan unifikasi hukum, tetapi gagal. Lalu orang-orang bumiputera dibiarkan menjalankan hukum adat dan lembaga-lembaga agamanya. Jika perlu menjalankan hukum Eropa, orang bumiputera harus menundukkan diri.

Wacana tentang pluralisme hukum dapat juga dilihat dari perspektif pertentangan antara penganut mazhab sejarah dan kaum etatis. Mazhab sejarah memandang hukum itu ekspresi kebudayaan, sehingga tidak membutuhkan campur tangan penguasa. Contoh di sini adalah hukum adat yang lahir mengikuti perjalanan sejarah dari generasi ke generasi. Sebaliknya, ada yang memandang hukum di luar hukum negara BUKANLAH hukum. Penganut etatis seperti ini berkawan erat dengan pandangan kaum legisme.
Memang dalam kondisi tertentu negara juga membuat pengakuan terhadap keberadaan hukum-hukum di luar hukum negara. Pengakuan ini bisa melahirkan beberapa posisi pluralisme hukum.
Jika pluralisme hukum itu ada, tetapi hukum negara menguasai hukum-hukum lain (dalam arti ditempatkan paling penting dan dominan), maka pluralisme demikian disebut: (a) pluralisme negara (sebutan G.R. dari Woodman); (b) pluralisme relatif (sebutan dari J. Vanderlinden); atau (c) pluralisme lemah (sebuatan dari J. Griffiths). Ketiga sebutan di atas pada hakikat sama maknanya.
Kebalikan dari itu semua adalah pluralisme yang memposisi hukum negara tidak lebih tinggi atau lebih dominan dibandingkan sistem-sistem hukum lain yang juga ada di negara tersebut. Pluralisme hukum demikian disebut: (a) pluralisme dalam (Woodman); (b) pluralisme deskriptif (Vanderlinden); atau (c) pluralisme kuat (Griffiths).
Sally F. Moore mengatakan bahwa kekuasaan negara itu ternyata memang tidak bakal mampu menjangkau semua area kehidupan masyarakat. Selalu ada area-area semi-otonom, yakni kekuasaan negara itu hidup berdampingan dengan kekuasaan non-negara. Masyarakat memiliki kekuatan sendiri untuk juga mengatur diri mereka sendiri. Area demikian disebut oleh Moore dengan istilah wilayah sosial yang semi otonom (semi-autonomous social field).

Naming, Blaming, Claiming

Dalam topik tentang hukum sebagai pengendali sosial, pernah disinggung tentang Hoefijzer Model (model tapal kuda) ala Schuyt untuk menyelesaikan suatu konflik. Dalam rangka penyelesaian konflik ini, ada rangkaian langkah-langkah menarik, yang kerap dibicarakan dalam sosiologi hukum. Proses ini adalah naming, blaming, claming. Sumber bacaan untuk ini dapat dilihat dalam tulisan William L. Felstiner, Richard L. Abel, dan Austin Sarat, "The Emergence and Transformation of Dispute" yang dimuat dalam Law and Society Review, vol. 15 no. 3-4 (1980-81).

Langkah pertama adalah naming (experience). Pada tahap ini pihak-pihak yang bertikai atau mereka yang diserahi tugas menyelesaikan konflik akan menetapkan peta persoalan, khususnya memastikan bahwa telah terjadi kesalahan / kerugian atas dasar pengalaman masing-masing. Dalam hukum acara pidana, kita mengenal tahap ini sebagai penyelidikan, yang biasanya berada dalam kewenangan Kepolisian. Dalam sosiologi, tahap naming ini bukannya tanpa referensi karena apa yang benar-salah atas perilaku itu didasarkan pada pengalaman (experience). Pengalamanlah yang mengajarkan pada kita tentang nilai-nilai yang benar-salah, baik-buruk, dsb. Latar belakang pengalaman yang berbeda akan berbuah pada hasil naming yang berbeda. Di sini akan diperoleh data/informasi tentang duduk persoalan (posisi kasusnya), siapa-siapa saja yang terlibat sebagai pihak, dan apa deskripsi hak dan kewajiban masing-masing.

Langkah berikutnya adalah blaming (reaction). Di sini pihak-pihak itu bereaksi menetapkan siapa yang biasanya (sesuai  pengalaman) seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan tadi. Dalam hukum acara pidana, blaming biasanya terjadi dalam tahap penyidikan (penetapan siapa tersangka). Pada tahap ini akan diperoleh data/informasi tentang siapa yang telah melanggar kewajibannya, dan siapa yang dirugikan atas pelanggaran itu, termasuk apa kontribusi masing-masing atas kesalahan dan kerugian tadi.

Tahap ketiga adalah  claming (understanding and responsibility). Tahap ini adalah tahap untuk menentukan cara dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta. Cara inilah yang pernah dibahas dalam topik pengendalian sosial. Teori Schuyt yang disinggung di atas sebenarnya mempersoalkan tentang claming. Dalam praktik, cara meminta pertanggungjawaban dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta tidaklah tunggal. Pihak-pihak selalu mencari cara dan bentuk yang paling menguntungkan dirinya masing-masing. Pilihan hukum dan pilihan forum dilakukan dengan cara seperti orang berbelanja, sehingga disebut juga dengan istilah forum shopping. Dalam sosiologi hukum dapat ditunjukkan betapa masyarakat memiliki forum-forum sendiri untuk menyelesaikan konflik di antara mereka. Pengadilan jelas bukan satu-satunya pilihan itu.
Rumus Crime
Crime = Actus Reus + Mens Reo + Absence of a valid defense
Actus Reus à Guilty Act (dilihat dari perbuatannya salah atau tidak)
Mens Reo à Guilty Mind (sudah beralih ke orangnya tercela atau tidak)
Absence of a valid defense à Alasan penghapus pidana, contohnya Daluarsa
Naming : (biasanya dilakukan oleh Polisi)
·         Terjadi Sengketa
v  Bagaimana duduk perkaranya
v  Siapa-siapa yang terlibat
v  Apa hak dan kewajiban hukum masing-masing
v  Siapa yang sudah melaksanakan kewajiban itu dan siapa yang belum
Blaming :
·         Telah ditetapkan duduk perkara
v  Siapa diantara pihak-pihak itu yang dapat diminta pertanggungjawabannya
Claiming : (Biasanya dilakukan oleh Jaksa)
·         Telah ditetapkan duduk perkara dan pihak yang bertanggung jawab
v  Apa prosedur yang harus ditempuh, dan dimana
v  Perlukah melakukan Law/Forum Shopping
v  Perlukah melakukan Shopping Forum
Law Shopping à Choice of Law
Forum Shopping à Choice of Forum
Forum Shopping à Sudah memilih satu forum, tapi masih ada pilihan disitu, contohnya : Sudah memilih mediasi, lalu mau memilih siapa mediatornya, atau sudah memilih arbitrase, tinggal memilih siapa arbiternya.

Minggu, 29 Mei 2011

Hukum Agama sebagai Norma Sosial

Pengertian agama,  A-gamma menurut Sansekerta: a= tidak, gamma= kacau. Jadi artinya tidak kacau.
Agama dari segi pendapat para ahli diartikan sebagai kebenaran umum yang memiliki akibat mengubah karakter orang apabila dikuti dengan tulus dan diyakini secara penuh.
Manusia sering menempatkan Tuhan sebagai God of the gap. Tuhan akan dihadirkan apabila manusia tidak dapat menyelesaikan suatu permasalahan ( hanya Tuhan yang tahu) tetapi ketika manusia bisa menyelesaikannya, Tuhan akan dikesampingkan dan logika manusia yang bekerja.
Krisis  epistemologis agama. Menurut Arthur D’Adamo kriris itu berakar dari cara pandangan agama yang mengklaim bahwa teks-teks kegamaan itu penuh dengan claim of truth and claim of salvation karena dianggap : konsisten dan bebas dari kesalahan, lengkap dan final, satu-satunya jalan keselamatan, ditulis atas wahyu Tuhan Yang MahaKuasa.
Pandangan sosiologis. Klaim kebenaran dan klaim kegamaan ini secara sosiologis telah mendatangkan banyak konflik sosial politik, juga perang antar agama. Konflik ini akhirnya melahirkan prasangka epistemologis berupa pembenaran diri sendiri (Self fulfilling Prophecy) karena mengasumsikan keabsolutan agamanya.
Menurut Alfred Whitehead. Ia menolak pandangan Durkheim bahwa agama adalah fakta sosial (Agama selalu berkarakter Komunitarian). Menurutnya agama justru berkarakter individual, bukan sosial. Whitehead mengatakan “Agama adalah apa yang dilakukan manusia dengan kesendiriannya (Solitariness).” Latar belakang pemikirannya ini adalah menurut sejarah, agama itu tumbuh secara gradual karena adanya kebutuhan manusia. Masuknya kebutuhan itu bertahap mengikuti urutan, yaitu :
1.       Ritualisme. Asal usulnya dapat dilacak dari era prasejarah. Ritual fisik juga dapat dilihat pada binatang. Dalam dunia hewan, gerakan-gerakan fisik ini secara psikologis juga penting untuk membuang energi berlebih dan untuk mengisi waktu. Gerakan yang terus berulang-ulang akan berguna untuk membangkitkan emosi tertentu.

2.       Tahap emosi, merupakan unsur ikutan dari ritual, berguna mempertajam kepekaan organisme, sering dianggap sebagai indikator kedalaman penghayatan. Emosi yang melibatkan orang banyak biasanya lebih disukai. Ritual dan emosi ini diberi penekanan dengan memusatkan pemujaan pada Holy Person (Nabi), atau (Holy Thing) (benda tertentu). Untuk mempercepat proses ini, digunakan sistem tanda yang menurut Charles Sanders Pierce dibedakan menjadi : Ikon (Tanda dan yang ditandai memiliki kemiripan, contoh Patung), Indeks (Tanda dan yang ditandai memiliki kedekatan eksistensi, contoh Peta), dan Simbol (Tanda yang ditandai berhubungan secara abstrak, contoh Lambang Negara)

3.       Kesaksian Iman. Pada tahap ini agama masih bersifat sosial, dan agama juga menjadi agen formatif baru bagi kebangkitan manusia. Disini diciptakan kultus-kultus yang diyakini oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan sebagai kebenaran. Pada tahap ini muncul dewa-dewa baru, imam kudus, santo, dll yang member konfirmasi atas keimanan itu. Whitehead mengingatkan pada tahap ini agama bisa “mandeg” jika tidak didorong ke tahap berikutnya.

4.       Tahap rasionalisasi. Pada tahap ini agama mendapat rasionalisasi secara individual bahwa “orang yang tak pernah sendiri, tak pernah religius.” Pada tahap ini agama bersentuhan dengan intuisi religious sedikit orang (Insight Individual). Agama rasional baru dapat muncul jika konsep-konsep umum dan intuisi-intuisi etis yang relevan sudah berkembang dalam kesadaran manusia. Pada tahap ini juga hasil insight individual itu telah menerobos sekat-sekat sosialnya. Inilah tahap yang ideal.

Ada empat kecenderungan agama dewasa ini, yaitu
1.       Deism (faith without religion)
Merupakan ramalan John Naisbitt dan Patricia Aburdene: “Spirituality, yes. Organized religion, no”. Formalitas agama terbukti telah mempersempit pesan-pesan universalitas mereka. Agama-agama yang terorganisasi (Yahudi, Nasrani, Islam, dst) diramalkan tidak memiliki masa depan, yang bertahan adalah pesan-pesan universalnya.

2.       Gerakan falsafah kalam (Theophilosophical Movemenet)
Gerakan ini bertolak dari temuan-temuan ilmiah (khususnya ilmu eksakta). Agama merespons temuan-temuan ini dan menyesuaikan kajian-kajiannya dengan merangkul ilmu pengetahuan. Agama tetap dijadikan sebagai orientasi perkembangan ilmu pengetahuan.

3.       Skriptualis-ideologis
Mengembalikan agama menurut apa yang tertulis dalam teks kitab suci. Manusia dalam tingkat kognisi tertentu dalam beragama, kerap berada dan harus melalui tahapan ini. Agama dieksklusifkan dengan menyatakan kebenaran hanya pada kelompoknya sendiri, bahkan cenderung memusuhi agama lain. Di Indonesia pandangan demikian cenderung disalahtafsirkan sebagai gerakan “kebangkitan kembali Agama”.

4.       Kebangkitan etno-religius
Dipicu perlawanan secara emosi atas hegemoni barat secara politik dan ekonomi (gerakan radikalisme Islam, Kristen, dll) atau dipicu oleh keterkepungan secara geopolitik (gerakan zionisme Israel, dll).

Hukum Agama dan Norma Sosial
Kosep Laicite, dicantumkan dalam Pasal 1 Konstitusi Perancis, bahwa pada prinsipnya Perancis adalah republik yang sekuler. Pemerintah tidak mencampuri urusan agama. Sejak abad ke-20, Pemerintah Perancis menerapkan perlakuan yang sama bagi semua agama (tak ada mayoritas dan minoritas). Tahun 2004 Perancis memberlakukan prinsip Laicite ini dengan melarang penggunaan simbol agama di sekolah-sekolah negeri.
Konsep Civil Religion, Amerika menganut “a common civil religion” dengan kepercayaan, nilai-nilai, hari raya, dan ritual tertentu, yang sejalan dengan kebebasan rakyatnya untuk memilih agama. Tidak ada agama yang dibiarkan menjadi agama negara. Diskursus dalam politik dan kenegaraan senantiasa dijauhkan dari terminologi agama. Namun dalam penelitian menunjukkan, orientasi agama kerap dipakai dalam mendulang suara dalam pemilu.
Beberapa sebutan lain yang pernah dipakai dalam Konsep Civil Religion adalah :
1)      Common Faith (John Dewei)
2)      Common Religion (Robin Williams)
3)      Religion in General (Martin Marty)
4)      Religion of the Republic (Sidney Mead)

Rabu, 18 Mei 2011

Religion in The Making

Entry ini akan membahas tentang Buku "Religion in the Making" karangan Alfred North Whitehead.

Buku ini terdiri dari empat kuliah yang diberikan di King's Chapel, Boston tahun 1926. Disini Whitehead menerapkan pada agama suatu pemikiran yang sama yang dia terapkan pada ilmu pengetahuan di Science and the Modern World. Tujuan kuliah ini adalah untuk memberikan analisis singkat mengenai berbagai faktor sifat manusia yang menimbulkan adanya agama, untuk menunjukkan transformasi agama dengan transformasi ilmu pengetahuan, dan untuk memfokuskan pada elemen permanen, dimana dengan elemen tersebut keteraturan dapat dipertahankan di alam semesta dan tanpa elemen tersebut tidak ada perubahan dunia. Kuliah 1: Agama dalam Sejarah, melihat definisi agama, kemunculan agama, ritual dan emosi, kepercayaan, rasionalisme, kenaikan manusia dan kontras antara Kristen dan Buddha. Observasi yang paling penting untuk saya: Karakter seseorang berkembang menurut imannya. Ini adalah kebenaran religius utama dimana tidak seorangpun dapat melepaskan diri darinya. Juga: "Agama belum tentu baik. Agama dapat menjadi sangat jahat." Kalimat terakhir bersifat ramalan, mengacu pada Kristen dan Buddha: "Mereka telah kehilangan cengkeramannya di masa lalu terhadap dunia."

Kuliah 2: Agama dan Dogma, mengeksporasi kesadaran religius dalam sejarah dengan kutipan dari Peribahasa, Surat dalam Perjanjian Lama dan Mazmur, deskripsi pengalaman religius, konsep Tuhan dengan tiga penggambaran utama sebagai keteraturan yang impersonal (Asia Timur), transendental ekstrim (Semit) dan monisme ekstrim (Panteisme), dan pencarian Tuhan dengan mengobservasi emosi ketakutan dan cinta, Paulus dan murid tersayang Yohanes.

Kuliah 3: Tubuh dan Roh berurusan dengan agama dan metafisika, kontribusi agama bagi metafisika, metafisika sebagai deskripsi ( dengan 3 elemen formatif: Kreatifitas sebagai jalan sementara kepada pembaruan/Dunia dari entitas yang ideal ditunjukkan dalam segala sesuatu yang aktual /Entitas yang aktual tapi tidak sementara dimana melalui hal tersebut ketidakpastian kreatifitas dirubah menjadi kebebasan yang tetap), Tuhan dan keteraturan moral, nilai dan tujuan Tuhan, tubuh dan pikiran, dan proses kreatif. Kalimat paling mengejutkan: "Mengukur adalah menghitung getaran " dan kutipan dari filsuf CF Alexander: "Waktu adalah pikiran dari ruang."

Kuliah 4: Kebenaran dan Kritik, mengkaji perkembangan dogma, pengalaman dan ekspresi, tradisi Kristen, Buddha dan ilmu pengetahuan sebagai sistem ketiga dari pemikiran, dan sifat Tuhan.


Dalam kesimpulannya, Whitehead memberikan deskripsi yang indah tentang Tuhan:

"Tuhan adalah suatu fungsi di dunia dimana karena alasan inilah tujuan kita diarahkan ke tujuan yang di dalam kesadaran kita tidak memihak kepada kepentingan kita. Dia adalah elemen dalam kehidupan dimana berdasarkan elemen inilah penghakiman keluar dari fakta eksistensi sampai ke nilai-nilai eksistensi ... dimana berdasarkan elemen inilah tujuan kita keluar dari nilai-nilai untuk kita sendiri sampai ke nilai-nilai untuk orang lain ... dimana berdasarkan elemen inilah pencapaian nilai tersebut untuk orang lain merubah dirinya sendiri menjadi nilai untuk diri kita sendiri.

Dia adalah elemen yang mengikat dunia. Kesadaran yang bersifat individual dalam diri kita, bersifat universal dalam dirinya; cinta yang bersifat memihak dalam diri kita bersifat merangkul semua dalam dirinya ..."

Senin, 16 Mei 2011

Tatanan Sosial Dan Pengendalian Sosial

Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial

Kuliah ini akan membahas topik seputar tatanan sosial dan pengendalian sosial. Pada saat kita berbicara tentang TATANAN SOSIAL, ada beberapa konsep penting yang perlu didiskusikan yaitu tentang: struktur sosial, pranata sosial, dan masyarakat.

TATANAN SOSIAL

Struktur Sosial: 
Perbedaan Sosiologi Makro & Mikro: Sosiologi makro mempelajari STRUKTUR, sedangkan Sosiologi mikro mempelajari SITUASI. 
Menurut Ralph Linton, STRUKTUR SOSIAL memiliki dua konsep penting:
(a) Status (a collection of rights & duties) Contoh: hak & kewajiban dosen adalah ….; (b) Peranan (the dynamic aspect of a status). Contoh: untuk melaksanakan hak dan kewajiban itu dosen mengajar dengan cara …

Struktur Sosial:
Menurut Linton, STATUS SOSIAL dapat dibedakan ke dalam:
(1) status yang diperoleh (ascribed status): tertutup, contoh: anak/dewasa; pria/wanita; kasta tinggi/kasta rendah; dan
(2) status yang diraih (achieved status): terbuka, contoh: tingkat pendidikan, kekayaaan.
Menurut Robert K. Merton, seseorang tidak hanya memiliki satu STATUS saja, sehingga berakibat ada banyak PERANAN pula. Dengan demikian ada
seperangakat status (status-set) dan seperangkat peranan (role-set/multiple roles).

Pranata Sosial (institusi sosial):
Sekumpulan status & peranan yang berjalan stabil dan karena mampu memenuhi kebutuhannya anggota-anggotanya disebut sebagai PRANATA SOSIAL. Pranata Sosial identik dengan Pranata Hukum. Jadi PRANATA terdiri dari seperangkat aturan yang terlembagakan (institutionalized), dengan ciri-ciri:
·         Diterima oleh sejumlah besar anggota sistem sosial itu;
·         Diinternalisasikan (internalized);
·         Diwajibkan (dengan sanksi atas pelanggarannya).
Masyarakat:
Dulu dibicarakan bahwa MASYARAKAT harus terdiri dari:
·         Manusia-manusia;
·         Hidup bersama dalam waktu relatif lama;
·         Beranggap sebagai satu kesatuan sosial (=organisasi sosial).
Namun, akan ada kesulitan karena definisi di atas belum memadai. Misalnya dapat ditanyakan tentang: apa maksud hidup bersama ini?; apa yang dimaksud relatif lama?; apa itu kesatuan sosial?

Menurut Marion Levy (1965):
1.       Masyarakat harus mampu bertahan melebihi masa hidup seorang individu;
2.      Rekrutmen seluruh/sebagian anggotanya melalui reproduksi;
3.      Kesetiaan pada suatu “sistem tindakan utama bersama”;
4.      Adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada.

Menurut Talcott Parsons (1968),  masyarakat :
1.       Bersifat swasembada;
2.      Melebihi masa hidup individu normal;
3.      Merekrut anggota secara reproduksi biologis; dan
4.      Melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya.

Edward Shils setuju dengan kriteria di atas dengan menyebut:
1.       Self-sufficiency;
2.      Self-regulation; dan
3.      Self-generation

PENGENDALIAN SOSIAL

Emile Durkheim pernah menyebut tentang FAKTA SOSIAL, yaitu kekuatan paksaan dari luar individu. Fakta sosial ini mengendalikan perilaku (social control) individu-individu.
FAKTA SOSIAL yang paling kuat daya paksanya adalah hukum.
Peter L. Berger & Brigitte Berger (1981) mengartikan pengendalian sosial sebagai: “Various means used by a society to bring recalcitrant members back into line” (aneka cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang).
Bandingkan dengan pandangan Roucek berikut ini. Joseph S. Roucek (1965) menyatakan pengendalian sosial: “a collective term for those processes, planned or unplanned, by which individuals are taught, persuaded, or compelled to conform to the usages and life-values of groups” (istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana atau tidak terencana tatkala individu diajarkan, dibujuk, atau dipaksa menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai hidup kelompok).
Jika Berger mendefinisikan pengendalian sosial terbatas pada mereka yang membangkang (recalcitrant), maka pada Roucek, pengendalian sosial ditujukan pada semua proses sosialisasi.

Hukum dapat dipakai untuk sarana pengendalian sosial; ditandai dengan pemberian kewenangan bagi negara untuk melakukan paksaan fisik; mekanisme pengendalian sosial lainnya:
·         membayar ganti rugi/denda;
·         mencopot seseorang dari jabatan;
·         mengucilkan dari pergaulan;
·         mempermalukan di depan umum, dll.

KESIMPULAN:
Sosiologi dapat dipelajari dalam perspektif makro dan mikro. Secara makro, sosiologi mempelajari struktur (berlangsung dalam jangka panjang), sementara secara mikro sosiologi mempelajari situasi keseharian (jangka pendek).
Struktur sosial terdiri dari dua konsep penting, yakni status sosial dan peranan sosial. Status mencakup perangkat hak dan kewajiban, sementara peran adalah bagaimana cara menjalankan hak-kewajiban itu.
Status sosial dengan demikian menentukan peran sosial seseorang. Makin banyak status yang disandang, makin kompleks peran yang dijalankan. Status ini ada yang diperoleh dan ada yang diraih. Jika seperangkat status dan peranan sosial ini berjalan secara stabil, maka terciptalah suatu pranata sosial.
Sesuatu baru dapat disebut pranata sosial apabila ada nilai-nilai yang diterima oleh anggota-anggota pendukungnya, diinternalisasi, dan diberi sanksi.
Mereka yang menjadi pendukung suatu pranata sosial inilah yang disebut masyarakat.  Tapi tidak semua kumpulan individu itu disebut Masyarakat.
Sesuatu baru dapat disebut masyarakat apabila terpenuhi syarat-syarat: (1) self-sufficiency, (2) self-regulation, dan (3) self-generation.
Sarana PENGENDALIAN SOSIAL yang paling utama, menurut Berger, adalah hukum karena hukum sangat efektif untuk menertibkan masyarakat yang membangkang. Dalam konteks pengendalian sosial inilah negara mendapat legitimasi untuk [memonopoli] penggunaan kekerasan fisik terhadap para pembangkang itu.
Namun, menurut Roucek, aspek pengendalian ini tidak hanya ditujukan terhadap mereka yang membangkang melainkan juga selama proses sosialisasi (tatkala individu menyesuaikan diri dengan pola perilaku masyarakat). Hal ini sejalan dengan pemikiran Parsons tentang fungsi integration dalam sistem sosial.

Empat Teori Penting Dalam Sosiologi

Empat Teori Penting dalam Sosiologi

Topik perkuliahan ini membahas mengenai sejumlah teori penting dalam sosiologi. Mengingat demikian banyak teori-teori sosiologi tersebut, dalam perkuliahan ini hanya akan disinggung empat saja di antaranya. Keempat teori inipun hanya akan disinggung secara garis besarnya saja (mengingat antara satu tokoh dengan tokoh lain selalu ada variasi pandangan yang berbeda satu dengan lainnya). Teori-teori ini dipandang perlu untuk disinggung karena akan mewarnai analisis kita dalam pembahasan materi sosiologi hukum berikutnya.
1. Teori Struktural Fungsional
2. Teori Konflik
3. Teori Interaksi Simbolik
4. Teori Pertukaran Sosial

Keempat Teori diatas dapat menjelaskan fenomena bagaimana memotret masyarakat

TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
Teori Struktural Fungsional (terkadang ditulis Fungsional Struktural) dikemukakan antara lain oleh Emile Durkheim, Talcott Parsons, Kingsley Davis, dan Robert K. Merton. Mengapa dipakai kata STRUKTUR?
Kata “struktur” dipakai untuk menunjukkan fakta-fakta di luar diri manusia. Manusia berperilaku karena menyikapi fakta-fakta yang sudah terstruktur. Jadi ada hubunga kausalitas antara faktor ekstern (heteronom) dan intern (otonom) manusia. Mengapa disebut FUNGSIONAL? Kata “fungsional” menunjukkan adanya unsur-unsur yang interdependen dalam masyarakat, mirip seperti organisme (misal tubuh manusia).
Jadi untuk memahami masyarakat, kita harus memahami bagaimana bagian-bagian (unsur-unsur) masyarakat itu bekerja. Fungsionalisme sebagai suatu analisis sistem, merupakan analisis yang bersifat struktural (mencermati hubungan kausalitas di antara mereka). Teori Struktural Fungsional menekankan keteraturan (order), dengan konsep utama: FUNGSI, DISFUNGSI, FUNGSI LATEN, FUNGSI MANIFES, dan KESEIMBANGAN (equilibrium).

Masyarakat adalah sistem sosial yang secara fungsional terhubung dengan sistem lainnya. Jika satu sistem tidak berfungsi akan mempengaruhi sistem lainnya. Di sini hukum diberi peran sebagai agen status quo. Dalam peran seperti ini hukum TIDAK MENYUKAI adanya perbuatan yang merusak tatanan sosial. Konflik adalah sesuatu yang diharamkan. Sesuatu yang tertib dan mapan dianggap BAIK (NORMAL), sebaliknya dianggap TIDAK BAIK (ABNORMAL) -- mirip seperti tubuh manusia (normality vs pathology) = OPOSISI BINER (binary opposition). Teori Struktural Fungsional dikritik karena mengasumsikan masyarakat selalu dalam kondisi damai (berjalan menurut fungsinya).

Salah satu pendukung teori Struktural Fungsional ini adalah Talcott Parsons. Ia adalah pengemuka teori yang diberi nama "the Structure of Social Action". Talcott Parsons meyakini: (1) motivasi dasar manusia adalah untuk berkuasa; (2) dalam mencapati tujuan itu kerap terjadi konflik-konflik; (3) konflik-konflik dapat diatasi jika terdapat pemerintahan yang kuat; (4) dalam rangka memelihara efektivitas pemerintahan itu diperlukan faktor-faktor normatif. Dapat diduga bahwa Parsons pada akhirnya sangat mengandalkan hukum untuk menjalankan fungsinya dalam upaya menjaga efektivitas pemerintahan itu.

Menurut Parsons, persoalan sentral dalam masyarakat bertolak pada dua hal, yaitu alokasi dan integrasi.
Alokasi adalah soal distribusi sumber daya kepada orang-orang yang ada dalam masyarakat dan/atau distribusi orang untuk menduduki posisi tertentu dalam masyarakat.
Integrasi adalah soal pengelolaan tegangan-tegangan yang muncul sebagai akibat dari pengalokasian. Seperti diungkapkan di atas, pemegang kekuasaan (pemerintah) diharapkan oleh Parsons dapat menggunakan hukum (konkretnya lembaga pengadilan) dalam upaya mengintegrasikan kembali masyarakat yang terlibat konflik (memperebutkan alokasi sumber daya).

Pada tahun 1951, Parsons menyebutkan ada 3 sistem yang ada dalam masyarakat, yaitu SISTEM SOSIAL, SISTEM KEPRIBADIAN, dan SISTEM BUDAYA. Ketiganya disusun secara berurutan.

Dalam konteks sistem sosial, manusia dipandang memiliki peran masing-masing dalam masyarakat. Sistem sosial berpotensi menciptakan konflik. Untuk menghindari konflik, sistem sosial membuat batasan tentang pola bertindak yang boleh/tidak boleh. Setiap orang memainkan peran sesuai posisinya dalam masyarakat (terpengaruh teori fungsionalisme). Setiap pemain peran memiliki ekspektasi-ekspektasi dan mereka saling berbagi ekspektasi (shared expectation) dengan saling mengisi fungsi-fungsi yang ada di masyarakat. Pola tindakan ini akan terus dijaga dan membuat interaksi anggota-anggota masyarakat menjadi efisien. Terciptalah stabilitas dan prediktibilitas. Contoh konflik tersebut adalah antara majikan dan buruh, dokter dan pasien, atau polisi dan penjahat.

Sistem kepribadian memandang manusia selalu menjalankan peran itu tidak saja mengacu pada nilai-nilai dalam sistem sosial, melainkan juga pada disposisi kebutuhan masing-masing orang. Jadi, setiap manusia memiliki disposisi kebutuhannya sendiri-sendiri, yang terdiri dari preferensi (jika dihadapkan pada pilihan, saya lebih suka itu daripada ini...), hasrat (secara instinktif saya cenderung berbuat itu...); dan keinginan (saya berharap mendapatkan itu...). Di sini Parsons banyak dipengaruhi oleh tokoh psikoanalisis Sigmund Freud.

Lalu, ada sistem budaya. Di sini manusia mengkoordinasikan tindakan-tindakannya agar tidak terjadi perbenturan ekspektasi dan perebutan pemenuhan kebutuhan. Sistem ini terdiri dari tiga wilayah penerapan, yang dilambangkan dengan: (a) Simbol-simbol kognisi. Contoh: angka-angka untuk menunjukkan perhitungan pembagian keuntungan dalam laporan keuangan. Angka-angka itu menyimbolkan sistem budaya dari aspek kognitif. (b) Simbol-simbol ekspresi (emosi). Contoh: benda-benda seni yang bisa dinikmati bersama oleh masyarakat. Candi, misalnya, adalah simbol sistem budaya yang ekpresif. (c) Simbol-simbol nilai (moral). Contoh: aturan hukum yang mengamanatkan tujuan yang ideal (keadilan) bagi segenap masyarakat. Parsons memberi tekanan pada pentingnya sistem budaya ini. Sebab, hanya dengan nilai-nilai terlembagakan dalam sistem budaya ini tercipta kesepakatan tentang standar perilaku untuk mengevaluasi perilaku konkret dan pola-pola pembagian sumber daya.
Pada tahun 1956, Parsons mengoreksi teori sistemnya tersebut dengan menyebutkan 4 subsistem dalam sistem masyarakat. Kali ini ia menyebut empat sistem, yaitu SISTEM EKONOMI, SISTEM POLITIK, SISTEM SOSIAL, dan SISTEM BUDAYA. Masing-masing sistem tersebut memiliki fungsi untuk adaptation, goal attainment, integration, dan latency. Keempat fungsi inilah yang dikenal dengan singkatan AGIL. Keempat fungsi ini terjalin secara dependen membentuk sistem aturan dengan model sibernetis (cybernetic model of system regulation). Jika diilustrasikan akan tampak sebagai berikut.




Dalam sistem ekonomi (atau bisa juga dipahami sebagai "subsistem" karena ia menjadi bagian dari sistem kemasyarakatan yang lebih luas) masyarakat diarahkan agar bertindak adaptif guna memenuhi kebutuhan hidup mereka, yakni mendapatkan benda-benda material agar mampu bertahan hidup. Dalam sistem politik, masyarakat dirahkan untuk mengikuti kebijakan si pemegang kekuasaan guna mencapai suatu tujuan bersama. Sistem sosial juga memiliki fungsinya sendiri, yaitu agar masyarakat diminta memelihara keutuhan sosial (integrasi sosial) dengan antara lain menaati aturan hukum. Terakhir adalah sistem budaya. Di sini masyarkat diarahkan bertindak sesutu nilai-nilai dari lembaga budaya yang sudah eksis, seperti masjid, gereja, sekolah, dll.

Namun, perlu hati-hati karena setiap lembaga budaya ini sebenarnya tidak hanya menjalankan sistem budaya (fungsi latency). Gereja, misalnya, juga menjalankan keempat unsur dari AGIL tersebut sekaligus. jadi, gereja adalah suatu lembaga dalam subsistem budaya (berfungsi untuk: latent pattern maintenance and tension management), sekaligus menjalankan fungsi-fungsi berbeda yang diperankan oleh:
 a. komisi liturgi dan kelompok doa ~ latency (komitmen pada nilai)
 b. komisi disiplin ~ integration (memberikan pengaruh sosial)
 c. dewan paroki ~ goal attainment (menegakkan kekuasaan)
 d. panitia dana ~ adaptation (mengumpulkan sumber daya/uang)

Pemikiran Parsons sangat menarik walaupun tidak berarti tanpa kritik. Parsons dikritik karena  menekankan bahwa ciri pada masyarakat modern adalah komitmen mereka yang kuat pada nilai-nilai (subsistem budaya). Kenyataannya tidak selalu demikian. Contoh, rasisme tetap saja masih eksis pada masyarakat di negara-negara maju. Teori Parsons terkait dengan subsistem budaya ini kurang detail (dibandingkan misalnya dengan aliran Strukturalisme dan Pascastrukturalisme). Konsep-konsep yang diajukan Parsons hanya tentang nilai dan norma. Teori Parsons terpengaruh pada fungsionalisme, seolah-olah setiap orang sudah mempunyai peran sendiri-sendiri dan terkukung pada peran-peran itu. Padahal, subjek manusia mempunyai kreativitas untuk menciptakan peran-peran baru.

Dosen kami (Bapak Shidarta) berpendapat bahwa teori Parsons tentang model sibernetika sebenarnya dapat dielaborasi sehingga menjadi setidaknya menjadi enam subsistem yang saling terkait [lihat penjelasannya dalam buku Shidarta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir (Bandung: Refika Aditama, 2010)]. Perhatikan, bahwa dalam ragaan di bawah ini ada sumber nilai dan sumber energi. Subsistem sosial juga dibedakan dengan subsistem hukum. Jika dilihat dari sudut subsistem hukum ini, terlihat dari mana arah sumber material hukum itu berasal, dan darimana pula arah sumber formal hukum tersebut datang.

 TEORI KONFLIK
Teori Konflik dikemukakan antara lain oleh Karl Marx, C. Wright Mills, Tom B. Bottomore, Ralf Dahrendorf, Randall Collins, dan Richard P. Appelbaum. Di antara tokoh-tokoh di atas, nama Marx tentu paling banyak disorot.



Menurut Karl Marx, sejarah masyarakat terjadi karena persaingan antar kelas (konsep alineasi memperebutkan sumber daya alam). Kapitalisme makin mempertajam persaingan itu. Namun, ia meramalkan bahwa suatu saat kelas borjuis akan dikalahkan oleh kelas proletar. Ramalan Marx ini berangkat dari dua teori yang dikemukakannya yaitu Teori Eksploitasi dan Teori Evolusi Kapitalisme.
Teori Eksploitasi:  Dunia modern diperintah oleh logika akumulasi komoditas. Nilai komoditas itu mencakup kualitas pekerjaan manusia. Kaum borjouis tidak membeli kualitas pekerjaan itu, tetapi hanya mau membayar tenaga buruh semurah mungkin. Padahal, ada nilai lebih dari tiap pekerjaan yang tak pernah diperhitungkan. Eksploitasi terjadi terus menerus oleh kaum kapitalis terhadap kaum proletar.   

Teori Evolusi Kapitalisme: Mekanisasi akan terus terjadi dalam sistem produksi. Kaum kapitalis akan mengakumulasi modal untuk investasi mekanistis ini. Buruh akan kalah bersaing dengan mesin. Upah makin rendah, terjadi pemelaratan yang menyulut pemberontakan massal. Sementara itu barang yang diproduksi tidak laku terjual karena daya beli menurun. Krisis terhadap kapitalisme diramalkan pasti makin lama akan makin berat.

Jadi, penganut teori konflik sangat dipengaruhi oleh materialisme historis ala Marx. Dalam paham ini, struktur masyarakat ditentukan oleh cara mereka berproduksi. Alat produksi adalah materi terpenting yang menentukan struktur sosial.  Ralf Dahrendorf (1976) menyatakan: "Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan."  Disensus dan konflik terjadi di mana-mana. Setiap unsur masyarakat berkontribusi pada terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Dalam konflik selalu terjadi pemaksaan di antara sesama anggota masyarakat. Konflik adalah sesuatu yang tidak terelakkan dalam masyarakat. Selain ada proses ASOSIATIF, tentu ada proses DISASOSIATIF. Jonathan H. Turner mengatakan, konflik tidak selalu berujung pada kehancuran sistem, namun justru bisa memperkuat sistem baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian tertentu. Contoh persaingan usaha memperkuat dan menyehatkan perekonomian nasional; menguntungkan konsumen; mendorong terjadinya inovasi di bidang teknologi, dll.). Teori Konflik menekankan pertentangan terus-menerus di antara unsur-unsur dalam masyarakat (disintegrasi sosial).
Masyarakat berada dalam proses perubahan (konflik itu pertanda perubahan). Keteraturan dapat saja terjadi karena ada satu golongan berkuasa yang memaksakan kehendaknya.


TEORI INTERAKSI SIMBOLIK
Teori Interaksi Simbolik ditokohi antara lain oleh Georg Herbert Mead, Manford H. Kuhn, Herbert Blumer, Ralp H. Turner, Howard S. Becker, Norman K. Denzin, dan J. Ter Hiede.

Manusia itu mahluk sosial (hidup berkelompok). Sebagai mahluk sosial, mereka berinteraksi dan berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu (a.l. bahasa). Ingat manusia adalah animal symbolicum. Namun, simbol-simbol itu tidak hanya untuk keperluan berhubungan antarpribadi, melainkan juga untuk keperluan pribadi (berpikir). Setiap orang/kelompok akan memaksakan pandangannya sendiri (self-image) kepada pihak lain ~ tercipta proses “desak-mendesak” sampai kemudian terwujud WORKING CONSENSUS yang memungkinkan adanya tindakan-tindakan bersama. Working consensus itu memberi arahan tentang rencana (strategi menuju tujuan) bersama dalam hidup bermasyarakat itu.
Jadi pada tingkat mikro pun, setiap orang berusaha belajar memahami orang lain. Oleh sebab itu, sistem sosial pun mengalami MORFOGENESE (terus belajar dan mengubah dirinya sendiri). HUKUM pun dapat dipandang sebagai hasil dari morfogenese ini.

Dalam kuliah pernah dibahas suatu contoh makna sapi bagi penduduk Hindu di India. Image tentang sapi ini antara lain dibentuk melalui keyakinan mereka terhadap cuplikan Mahabharata, yang bunyinya, "One should never feel any repugnance for the urine and the dung of the cow. One should never show any disregard for cows in any way. If evil dreams are seen, men should take the names of cows. One should never obstruct cows in any way. Cows are the mothers of both the Past and the Future. Every morning, people should bow with reverence unto cows. Cows are sacred. They are the foremost of all things in the world. They are verily the refuge of the universe. They are the mothers of the very deities. They are verily incomparable. Cows are the mothers of the universe. There is no gift more sacred than the gift of cows. There is no gift that produces more blessed merit." [From the Mahabharata, Anusasana Parva, Sections LXXXIII - LXXVII - LXXVI]

Image ini saling dipertukarkan di antara sesama penganut Hindu di India, sehingga muncul suatu konsensus tentang bagaimana sapi harus diperlakukan. Image tentang sapi ini tidak hidup di kalangan non-Hindu, sehingga perlakuan terhadap sapi bisa sangat berbeda antara pemeluk Hindu dan non-Hindu. Hal yang serupa berlaku untuk image terhadap hewan babi di dalam perspektif penganut Islam, sehingga perlakuan terhadap babi akan berbeda antara pemeluk Islam dan non-Islam. Kiranya fenomena serupa berlaku juga untuk semua hal di dalam kehidupan sosial.



Ter Heide menggambarkannya Teori Interaksi Simbolik ini dengan rumus sederhana: B = fPE (B adalah behavior, f adalah fungsi, P adalah plan, dan E adalah environment). Teori ini dapat menjelaskan, misalnya atas penelitian E.M. Bruner (antropolog Univ. Illinois) terhadap masyarakat Batak Toba yang berurbanisasi di kota Medan (1957-1958) dan Bandung (1969-1970). Perilaku (BEHAVIOR) berupa solidaritas kekerabatan dan adat istiadat Batak Toba yang mulai mengendur di daerah asalnya, justru menguat sesampai mereka di Medan. Hal ini terjadi karena ENVIRONMENT di Medan yang menghadapkan mereka pada persaingan kuat di tengah beragam suku. Untuk itu mereka perlu bersatu dengan saling membantu (PLAN). Hal ini berbeda dengan perilaku orang Batak Toba di Bandung. ENVIRONMENT di Bandung dikuasai oleh adat istiadat Sunda yang dominan, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk bersaing; sebaliknya takluk pada budaya yang dominan itu.

Teori ini juga bisa menjelaskan fenomena persekutuan sesaat yang kerap terjadi dalam konflik politik. Lewis Coser misalnya menjelaskan tentang adanya "conflict binds antagonistists” (kelompok-kelompok yang bertentangan dapat bersatu demi menghadapi lawan bersama). Jadi image tentang "musuh" mengalamai morfogenese terkait dengan rencana dan kebutuhan situasional. Akibatnya, pihak-pihak ini membuat sebuah working consensus mengubah definisi musuh dan melakukan tindakan atas musuh bersama tadi. Di sini berlaku adigium yang sering terjadi dalam dunia politik antar-bangsa yakni "musuh dari musuh saya adalah kawan saya."

Pada PD II, pasukan Chiang & Mao berhenti berperang demi menghadapi musuh bersama mereka yaitu Jepang; namun ketika Jepang berhasil dikalahkan, kedua kelompok ini kembali bersitegang. Hal serupa terjadi di Indonesia. Setelah G-30-S/PKI, berbagai kelompok sosial dan keagamaan di Indonesia bersatu menghadapi PKI, melupakan untuk sementara pebedaan yang terjadi.

TEORI PERTUKARAN SOSIAL
Teori Pertukaran Sosial dikemukakan antara lain oleh Peter Michael Blau, James S. Coleman, George C. Homans, dan Peter P. Ekeh. Teori Pertukaran Sosial berpendapat manusia itu mahluk yang penuh pamrih.
Setiap orang ingin mendapatkan keuntungan dari hubungannya dengan orang lain. KEUNTUNGAN = IMBALAN (respons pihak lain) – BIAYA (kewajiban, rasa khawatir, kebosanan dll.). Perhitungan keuntungan itu merupakan pilihan rasional  (rational choice theory). Di sini terjadi pertukaran (take and give) antara IMBALAN dan BIAYA. Sekalipun demikian, dalam hal tertentu, manusia juga sadar tidak selalu keuntungan berada di pihaknya. Oleh sebab itu, untuk sementara seseorang dapat saja berkorban demi perhitungan keuntungan di kemudian hari.

Pertukaran sosial tidaklah sama dengan pertukaran ekonomi. Pada pertukaran sosial, prestasi dari para pihak tidak harus spesifik, sementara dalam pertukaran ekonomi harus spesifik. Jika dalam pertukaran ekonomi, yang terjadi adalah pertukaran KEWAJIBAN, maka pada pertukaran sosial yang terjadi adalah pertukaran HARAPAN. Ingat, bahwa HARAPAN berarti tidak selalu ada jaminan bahwa suatu hari ia pasti mendapatkan.

Prinsip rasionalitas ini sudah disinggung oleh Jeremy Bentham (tokoh utilitarianisme) dengan perhitungan PLEASURE versus PAIN. Kalkulus hedonistis (hedonistic calculus) yang dikembangkannya berangkat dari perhitungan atas faktor-faktor: intensitas (intensity); lamanya kesenangan/penderitaan berlangsung (duration); kepastian akan terjadi (certainty); jauh dekat perasaan (cepat-lambat efeknya) (propinqity); akibat yang ditimbulkan (fecundity); kemurnian (purity); dan jangkauan (extent). Perilaku mabuk (akibat mengkonsumsi minuman keras), misalnya, dapat diukur dengan melihat seberapa banyak pleasure dan pain yang dihasilkan.

Teori Pertukaran Sosial juga kerap kita praktikkan dalam hal kita memutuskan untuk menolong atau tidak menolong orang lain. Untuk itu perhatikan ilustrasi di bawah ini.

PENUTUP
Dari keempat teori ini, kita dapat melihat faktor-faktor sosial yang mempengaruhi tindakan sosial kita sebagai bagian dari masyarakat. Teori Struktural Fungsional lebih menekankan pada permainan fungsi-fungsi struktural yang ada di dalam masyarakat. Saya berbuat ini atau itu karena saya tunduk pada "aturan main" yang telah dilembagakan demi menjaga tertib sosial. Teori Konflik melihat dari sisi lain, bahwa saya berbuat ini atau itu justru karena saya tengah terlibat dalam upaya memperebutkan sumber-sumber materi kehidupan  yang terbatas. Jadi, motif penguasaan materi itulah yang utama, yang justru tidak dapat dihindarkan dalam sejarah kehidupan manusia. Perebutan ini jika dibiarkan mengikuti paham kapitalis, pasti akan berujung pada kondisi chaos. Teori Interaksi Simbolik melihat secara lebih spesifik, bahwa saya berbuat ini atau itu semata-mata karena makna simbolik (image) yang saya yakini terhadap sesuatu. Image yang saya yakini berinteraksi dengan image yang diyakini pihak lain, sehingga suatu ketika terciptalah konsensus yang memandu tindakan bersama atas dasar rencana dan kondisi yang disepekati tersebut.  Teori yang keempat adalah Teori Pertukaran Sosial yang memandang tindakan sebagai akibat adanya pertukaran harapan antara pain dan pleasure, atau kerugian dan keuntungan.