Minggu, 29 Mei 2011

Hukum Agama sebagai Norma Sosial

Pengertian agama,  A-gamma menurut Sansekerta: a= tidak, gamma= kacau. Jadi artinya tidak kacau.
Agama dari segi pendapat para ahli diartikan sebagai kebenaran umum yang memiliki akibat mengubah karakter orang apabila dikuti dengan tulus dan diyakini secara penuh.
Manusia sering menempatkan Tuhan sebagai God of the gap. Tuhan akan dihadirkan apabila manusia tidak dapat menyelesaikan suatu permasalahan ( hanya Tuhan yang tahu) tetapi ketika manusia bisa menyelesaikannya, Tuhan akan dikesampingkan dan logika manusia yang bekerja.
Krisis  epistemologis agama. Menurut Arthur D’Adamo kriris itu berakar dari cara pandangan agama yang mengklaim bahwa teks-teks kegamaan itu penuh dengan claim of truth and claim of salvation karena dianggap : konsisten dan bebas dari kesalahan, lengkap dan final, satu-satunya jalan keselamatan, ditulis atas wahyu Tuhan Yang MahaKuasa.
Pandangan sosiologis. Klaim kebenaran dan klaim kegamaan ini secara sosiologis telah mendatangkan banyak konflik sosial politik, juga perang antar agama. Konflik ini akhirnya melahirkan prasangka epistemologis berupa pembenaran diri sendiri (Self fulfilling Prophecy) karena mengasumsikan keabsolutan agamanya.
Menurut Alfred Whitehead. Ia menolak pandangan Durkheim bahwa agama adalah fakta sosial (Agama selalu berkarakter Komunitarian). Menurutnya agama justru berkarakter individual, bukan sosial. Whitehead mengatakan “Agama adalah apa yang dilakukan manusia dengan kesendiriannya (Solitariness).” Latar belakang pemikirannya ini adalah menurut sejarah, agama itu tumbuh secara gradual karena adanya kebutuhan manusia. Masuknya kebutuhan itu bertahap mengikuti urutan, yaitu :
1.       Ritualisme. Asal usulnya dapat dilacak dari era prasejarah. Ritual fisik juga dapat dilihat pada binatang. Dalam dunia hewan, gerakan-gerakan fisik ini secara psikologis juga penting untuk membuang energi berlebih dan untuk mengisi waktu. Gerakan yang terus berulang-ulang akan berguna untuk membangkitkan emosi tertentu.

2.       Tahap emosi, merupakan unsur ikutan dari ritual, berguna mempertajam kepekaan organisme, sering dianggap sebagai indikator kedalaman penghayatan. Emosi yang melibatkan orang banyak biasanya lebih disukai. Ritual dan emosi ini diberi penekanan dengan memusatkan pemujaan pada Holy Person (Nabi), atau (Holy Thing) (benda tertentu). Untuk mempercepat proses ini, digunakan sistem tanda yang menurut Charles Sanders Pierce dibedakan menjadi : Ikon (Tanda dan yang ditandai memiliki kemiripan, contoh Patung), Indeks (Tanda dan yang ditandai memiliki kedekatan eksistensi, contoh Peta), dan Simbol (Tanda yang ditandai berhubungan secara abstrak, contoh Lambang Negara)

3.       Kesaksian Iman. Pada tahap ini agama masih bersifat sosial, dan agama juga menjadi agen formatif baru bagi kebangkitan manusia. Disini diciptakan kultus-kultus yang diyakini oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan sebagai kebenaran. Pada tahap ini muncul dewa-dewa baru, imam kudus, santo, dll yang member konfirmasi atas keimanan itu. Whitehead mengingatkan pada tahap ini agama bisa “mandeg” jika tidak didorong ke tahap berikutnya.

4.       Tahap rasionalisasi. Pada tahap ini agama mendapat rasionalisasi secara individual bahwa “orang yang tak pernah sendiri, tak pernah religius.” Pada tahap ini agama bersentuhan dengan intuisi religious sedikit orang (Insight Individual). Agama rasional baru dapat muncul jika konsep-konsep umum dan intuisi-intuisi etis yang relevan sudah berkembang dalam kesadaran manusia. Pada tahap ini juga hasil insight individual itu telah menerobos sekat-sekat sosialnya. Inilah tahap yang ideal.

Ada empat kecenderungan agama dewasa ini, yaitu
1.       Deism (faith without religion)
Merupakan ramalan John Naisbitt dan Patricia Aburdene: “Spirituality, yes. Organized religion, no”. Formalitas agama terbukti telah mempersempit pesan-pesan universalitas mereka. Agama-agama yang terorganisasi (Yahudi, Nasrani, Islam, dst) diramalkan tidak memiliki masa depan, yang bertahan adalah pesan-pesan universalnya.

2.       Gerakan falsafah kalam (Theophilosophical Movemenet)
Gerakan ini bertolak dari temuan-temuan ilmiah (khususnya ilmu eksakta). Agama merespons temuan-temuan ini dan menyesuaikan kajian-kajiannya dengan merangkul ilmu pengetahuan. Agama tetap dijadikan sebagai orientasi perkembangan ilmu pengetahuan.

3.       Skriptualis-ideologis
Mengembalikan agama menurut apa yang tertulis dalam teks kitab suci. Manusia dalam tingkat kognisi tertentu dalam beragama, kerap berada dan harus melalui tahapan ini. Agama dieksklusifkan dengan menyatakan kebenaran hanya pada kelompoknya sendiri, bahkan cenderung memusuhi agama lain. Di Indonesia pandangan demikian cenderung disalahtafsirkan sebagai gerakan “kebangkitan kembali Agama”.

4.       Kebangkitan etno-religius
Dipicu perlawanan secara emosi atas hegemoni barat secara politik dan ekonomi (gerakan radikalisme Islam, Kristen, dll) atau dipicu oleh keterkepungan secara geopolitik (gerakan zionisme Israel, dll).

Hukum Agama dan Norma Sosial
Kosep Laicite, dicantumkan dalam Pasal 1 Konstitusi Perancis, bahwa pada prinsipnya Perancis adalah republik yang sekuler. Pemerintah tidak mencampuri urusan agama. Sejak abad ke-20, Pemerintah Perancis menerapkan perlakuan yang sama bagi semua agama (tak ada mayoritas dan minoritas). Tahun 2004 Perancis memberlakukan prinsip Laicite ini dengan melarang penggunaan simbol agama di sekolah-sekolah negeri.
Konsep Civil Religion, Amerika menganut “a common civil religion” dengan kepercayaan, nilai-nilai, hari raya, dan ritual tertentu, yang sejalan dengan kebebasan rakyatnya untuk memilih agama. Tidak ada agama yang dibiarkan menjadi agama negara. Diskursus dalam politik dan kenegaraan senantiasa dijauhkan dari terminologi agama. Namun dalam penelitian menunjukkan, orientasi agama kerap dipakai dalam mendulang suara dalam pemilu.
Beberapa sebutan lain yang pernah dipakai dalam Konsep Civil Religion adalah :
1)      Common Faith (John Dewei)
2)      Common Religion (Robin Williams)
3)      Religion in General (Martin Marty)
4)      Religion of the Republic (Sidney Mead)

Rabu, 18 Mei 2011

Religion in The Making

Entry ini akan membahas tentang Buku "Religion in the Making" karangan Alfred North Whitehead.

Buku ini terdiri dari empat kuliah yang diberikan di King's Chapel, Boston tahun 1926. Disini Whitehead menerapkan pada agama suatu pemikiran yang sama yang dia terapkan pada ilmu pengetahuan di Science and the Modern World. Tujuan kuliah ini adalah untuk memberikan analisis singkat mengenai berbagai faktor sifat manusia yang menimbulkan adanya agama, untuk menunjukkan transformasi agama dengan transformasi ilmu pengetahuan, dan untuk memfokuskan pada elemen permanen, dimana dengan elemen tersebut keteraturan dapat dipertahankan di alam semesta dan tanpa elemen tersebut tidak ada perubahan dunia. Kuliah 1: Agama dalam Sejarah, melihat definisi agama, kemunculan agama, ritual dan emosi, kepercayaan, rasionalisme, kenaikan manusia dan kontras antara Kristen dan Buddha. Observasi yang paling penting untuk saya: Karakter seseorang berkembang menurut imannya. Ini adalah kebenaran religius utama dimana tidak seorangpun dapat melepaskan diri darinya. Juga: "Agama belum tentu baik. Agama dapat menjadi sangat jahat." Kalimat terakhir bersifat ramalan, mengacu pada Kristen dan Buddha: "Mereka telah kehilangan cengkeramannya di masa lalu terhadap dunia."

Kuliah 2: Agama dan Dogma, mengeksporasi kesadaran religius dalam sejarah dengan kutipan dari Peribahasa, Surat dalam Perjanjian Lama dan Mazmur, deskripsi pengalaman religius, konsep Tuhan dengan tiga penggambaran utama sebagai keteraturan yang impersonal (Asia Timur), transendental ekstrim (Semit) dan monisme ekstrim (Panteisme), dan pencarian Tuhan dengan mengobservasi emosi ketakutan dan cinta, Paulus dan murid tersayang Yohanes.

Kuliah 3: Tubuh dan Roh berurusan dengan agama dan metafisika, kontribusi agama bagi metafisika, metafisika sebagai deskripsi ( dengan 3 elemen formatif: Kreatifitas sebagai jalan sementara kepada pembaruan/Dunia dari entitas yang ideal ditunjukkan dalam segala sesuatu yang aktual /Entitas yang aktual tapi tidak sementara dimana melalui hal tersebut ketidakpastian kreatifitas dirubah menjadi kebebasan yang tetap), Tuhan dan keteraturan moral, nilai dan tujuan Tuhan, tubuh dan pikiran, dan proses kreatif. Kalimat paling mengejutkan: "Mengukur adalah menghitung getaran " dan kutipan dari filsuf CF Alexander: "Waktu adalah pikiran dari ruang."

Kuliah 4: Kebenaran dan Kritik, mengkaji perkembangan dogma, pengalaman dan ekspresi, tradisi Kristen, Buddha dan ilmu pengetahuan sebagai sistem ketiga dari pemikiran, dan sifat Tuhan.


Dalam kesimpulannya, Whitehead memberikan deskripsi yang indah tentang Tuhan:

"Tuhan adalah suatu fungsi di dunia dimana karena alasan inilah tujuan kita diarahkan ke tujuan yang di dalam kesadaran kita tidak memihak kepada kepentingan kita. Dia adalah elemen dalam kehidupan dimana berdasarkan elemen inilah penghakiman keluar dari fakta eksistensi sampai ke nilai-nilai eksistensi ... dimana berdasarkan elemen inilah tujuan kita keluar dari nilai-nilai untuk kita sendiri sampai ke nilai-nilai untuk orang lain ... dimana berdasarkan elemen inilah pencapaian nilai tersebut untuk orang lain merubah dirinya sendiri menjadi nilai untuk diri kita sendiri.

Dia adalah elemen yang mengikat dunia. Kesadaran yang bersifat individual dalam diri kita, bersifat universal dalam dirinya; cinta yang bersifat memihak dalam diri kita bersifat merangkul semua dalam dirinya ..."

Senin, 16 Mei 2011

Tatanan Sosial Dan Pengendalian Sosial

Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial

Kuliah ini akan membahas topik seputar tatanan sosial dan pengendalian sosial. Pada saat kita berbicara tentang TATANAN SOSIAL, ada beberapa konsep penting yang perlu didiskusikan yaitu tentang: struktur sosial, pranata sosial, dan masyarakat.

TATANAN SOSIAL

Struktur Sosial: 
Perbedaan Sosiologi Makro & Mikro: Sosiologi makro mempelajari STRUKTUR, sedangkan Sosiologi mikro mempelajari SITUASI. 
Menurut Ralph Linton, STRUKTUR SOSIAL memiliki dua konsep penting:
(a) Status (a collection of rights & duties) Contoh: hak & kewajiban dosen adalah ….; (b) Peranan (the dynamic aspect of a status). Contoh: untuk melaksanakan hak dan kewajiban itu dosen mengajar dengan cara …

Struktur Sosial:
Menurut Linton, STATUS SOSIAL dapat dibedakan ke dalam:
(1) status yang diperoleh (ascribed status): tertutup, contoh: anak/dewasa; pria/wanita; kasta tinggi/kasta rendah; dan
(2) status yang diraih (achieved status): terbuka, contoh: tingkat pendidikan, kekayaaan.
Menurut Robert K. Merton, seseorang tidak hanya memiliki satu STATUS saja, sehingga berakibat ada banyak PERANAN pula. Dengan demikian ada
seperangakat status (status-set) dan seperangkat peranan (role-set/multiple roles).

Pranata Sosial (institusi sosial):
Sekumpulan status & peranan yang berjalan stabil dan karena mampu memenuhi kebutuhannya anggota-anggotanya disebut sebagai PRANATA SOSIAL. Pranata Sosial identik dengan Pranata Hukum. Jadi PRANATA terdiri dari seperangkat aturan yang terlembagakan (institutionalized), dengan ciri-ciri:
·         Diterima oleh sejumlah besar anggota sistem sosial itu;
·         Diinternalisasikan (internalized);
·         Diwajibkan (dengan sanksi atas pelanggarannya).
Masyarakat:
Dulu dibicarakan bahwa MASYARAKAT harus terdiri dari:
·         Manusia-manusia;
·         Hidup bersama dalam waktu relatif lama;
·         Beranggap sebagai satu kesatuan sosial (=organisasi sosial).
Namun, akan ada kesulitan karena definisi di atas belum memadai. Misalnya dapat ditanyakan tentang: apa maksud hidup bersama ini?; apa yang dimaksud relatif lama?; apa itu kesatuan sosial?

Menurut Marion Levy (1965):
1.       Masyarakat harus mampu bertahan melebihi masa hidup seorang individu;
2.      Rekrutmen seluruh/sebagian anggotanya melalui reproduksi;
3.      Kesetiaan pada suatu “sistem tindakan utama bersama”;
4.      Adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada.

Menurut Talcott Parsons (1968),  masyarakat :
1.       Bersifat swasembada;
2.      Melebihi masa hidup individu normal;
3.      Merekrut anggota secara reproduksi biologis; dan
4.      Melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya.

Edward Shils setuju dengan kriteria di atas dengan menyebut:
1.       Self-sufficiency;
2.      Self-regulation; dan
3.      Self-generation

PENGENDALIAN SOSIAL

Emile Durkheim pernah menyebut tentang FAKTA SOSIAL, yaitu kekuatan paksaan dari luar individu. Fakta sosial ini mengendalikan perilaku (social control) individu-individu.
FAKTA SOSIAL yang paling kuat daya paksanya adalah hukum.
Peter L. Berger & Brigitte Berger (1981) mengartikan pengendalian sosial sebagai: “Various means used by a society to bring recalcitrant members back into line” (aneka cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang).
Bandingkan dengan pandangan Roucek berikut ini. Joseph S. Roucek (1965) menyatakan pengendalian sosial: “a collective term for those processes, planned or unplanned, by which individuals are taught, persuaded, or compelled to conform to the usages and life-values of groups” (istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana atau tidak terencana tatkala individu diajarkan, dibujuk, atau dipaksa menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai hidup kelompok).
Jika Berger mendefinisikan pengendalian sosial terbatas pada mereka yang membangkang (recalcitrant), maka pada Roucek, pengendalian sosial ditujukan pada semua proses sosialisasi.

Hukum dapat dipakai untuk sarana pengendalian sosial; ditandai dengan pemberian kewenangan bagi negara untuk melakukan paksaan fisik; mekanisme pengendalian sosial lainnya:
·         membayar ganti rugi/denda;
·         mencopot seseorang dari jabatan;
·         mengucilkan dari pergaulan;
·         mempermalukan di depan umum, dll.

KESIMPULAN:
Sosiologi dapat dipelajari dalam perspektif makro dan mikro. Secara makro, sosiologi mempelajari struktur (berlangsung dalam jangka panjang), sementara secara mikro sosiologi mempelajari situasi keseharian (jangka pendek).
Struktur sosial terdiri dari dua konsep penting, yakni status sosial dan peranan sosial. Status mencakup perangkat hak dan kewajiban, sementara peran adalah bagaimana cara menjalankan hak-kewajiban itu.
Status sosial dengan demikian menentukan peran sosial seseorang. Makin banyak status yang disandang, makin kompleks peran yang dijalankan. Status ini ada yang diperoleh dan ada yang diraih. Jika seperangkat status dan peranan sosial ini berjalan secara stabil, maka terciptalah suatu pranata sosial.
Sesuatu baru dapat disebut pranata sosial apabila ada nilai-nilai yang diterima oleh anggota-anggota pendukungnya, diinternalisasi, dan diberi sanksi.
Mereka yang menjadi pendukung suatu pranata sosial inilah yang disebut masyarakat.  Tapi tidak semua kumpulan individu itu disebut Masyarakat.
Sesuatu baru dapat disebut masyarakat apabila terpenuhi syarat-syarat: (1) self-sufficiency, (2) self-regulation, dan (3) self-generation.
Sarana PENGENDALIAN SOSIAL yang paling utama, menurut Berger, adalah hukum karena hukum sangat efektif untuk menertibkan masyarakat yang membangkang. Dalam konteks pengendalian sosial inilah negara mendapat legitimasi untuk [memonopoli] penggunaan kekerasan fisik terhadap para pembangkang itu.
Namun, menurut Roucek, aspek pengendalian ini tidak hanya ditujukan terhadap mereka yang membangkang melainkan juga selama proses sosialisasi (tatkala individu menyesuaikan diri dengan pola perilaku masyarakat). Hal ini sejalan dengan pemikiran Parsons tentang fungsi integration dalam sistem sosial.

Empat Teori Penting Dalam Sosiologi

Empat Teori Penting dalam Sosiologi

Topik perkuliahan ini membahas mengenai sejumlah teori penting dalam sosiologi. Mengingat demikian banyak teori-teori sosiologi tersebut, dalam perkuliahan ini hanya akan disinggung empat saja di antaranya. Keempat teori inipun hanya akan disinggung secara garis besarnya saja (mengingat antara satu tokoh dengan tokoh lain selalu ada variasi pandangan yang berbeda satu dengan lainnya). Teori-teori ini dipandang perlu untuk disinggung karena akan mewarnai analisis kita dalam pembahasan materi sosiologi hukum berikutnya.
1. Teori Struktural Fungsional
2. Teori Konflik
3. Teori Interaksi Simbolik
4. Teori Pertukaran Sosial

Keempat Teori diatas dapat menjelaskan fenomena bagaimana memotret masyarakat

TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
Teori Struktural Fungsional (terkadang ditulis Fungsional Struktural) dikemukakan antara lain oleh Emile Durkheim, Talcott Parsons, Kingsley Davis, dan Robert K. Merton. Mengapa dipakai kata STRUKTUR?
Kata “struktur” dipakai untuk menunjukkan fakta-fakta di luar diri manusia. Manusia berperilaku karena menyikapi fakta-fakta yang sudah terstruktur. Jadi ada hubunga kausalitas antara faktor ekstern (heteronom) dan intern (otonom) manusia. Mengapa disebut FUNGSIONAL? Kata “fungsional” menunjukkan adanya unsur-unsur yang interdependen dalam masyarakat, mirip seperti organisme (misal tubuh manusia).
Jadi untuk memahami masyarakat, kita harus memahami bagaimana bagian-bagian (unsur-unsur) masyarakat itu bekerja. Fungsionalisme sebagai suatu analisis sistem, merupakan analisis yang bersifat struktural (mencermati hubungan kausalitas di antara mereka). Teori Struktural Fungsional menekankan keteraturan (order), dengan konsep utama: FUNGSI, DISFUNGSI, FUNGSI LATEN, FUNGSI MANIFES, dan KESEIMBANGAN (equilibrium).

Masyarakat adalah sistem sosial yang secara fungsional terhubung dengan sistem lainnya. Jika satu sistem tidak berfungsi akan mempengaruhi sistem lainnya. Di sini hukum diberi peran sebagai agen status quo. Dalam peran seperti ini hukum TIDAK MENYUKAI adanya perbuatan yang merusak tatanan sosial. Konflik adalah sesuatu yang diharamkan. Sesuatu yang tertib dan mapan dianggap BAIK (NORMAL), sebaliknya dianggap TIDAK BAIK (ABNORMAL) -- mirip seperti tubuh manusia (normality vs pathology) = OPOSISI BINER (binary opposition). Teori Struktural Fungsional dikritik karena mengasumsikan masyarakat selalu dalam kondisi damai (berjalan menurut fungsinya).

Salah satu pendukung teori Struktural Fungsional ini adalah Talcott Parsons. Ia adalah pengemuka teori yang diberi nama "the Structure of Social Action". Talcott Parsons meyakini: (1) motivasi dasar manusia adalah untuk berkuasa; (2) dalam mencapati tujuan itu kerap terjadi konflik-konflik; (3) konflik-konflik dapat diatasi jika terdapat pemerintahan yang kuat; (4) dalam rangka memelihara efektivitas pemerintahan itu diperlukan faktor-faktor normatif. Dapat diduga bahwa Parsons pada akhirnya sangat mengandalkan hukum untuk menjalankan fungsinya dalam upaya menjaga efektivitas pemerintahan itu.

Menurut Parsons, persoalan sentral dalam masyarakat bertolak pada dua hal, yaitu alokasi dan integrasi.
Alokasi adalah soal distribusi sumber daya kepada orang-orang yang ada dalam masyarakat dan/atau distribusi orang untuk menduduki posisi tertentu dalam masyarakat.
Integrasi adalah soal pengelolaan tegangan-tegangan yang muncul sebagai akibat dari pengalokasian. Seperti diungkapkan di atas, pemegang kekuasaan (pemerintah) diharapkan oleh Parsons dapat menggunakan hukum (konkretnya lembaga pengadilan) dalam upaya mengintegrasikan kembali masyarakat yang terlibat konflik (memperebutkan alokasi sumber daya).

Pada tahun 1951, Parsons menyebutkan ada 3 sistem yang ada dalam masyarakat, yaitu SISTEM SOSIAL, SISTEM KEPRIBADIAN, dan SISTEM BUDAYA. Ketiganya disusun secara berurutan.

Dalam konteks sistem sosial, manusia dipandang memiliki peran masing-masing dalam masyarakat. Sistem sosial berpotensi menciptakan konflik. Untuk menghindari konflik, sistem sosial membuat batasan tentang pola bertindak yang boleh/tidak boleh. Setiap orang memainkan peran sesuai posisinya dalam masyarakat (terpengaruh teori fungsionalisme). Setiap pemain peran memiliki ekspektasi-ekspektasi dan mereka saling berbagi ekspektasi (shared expectation) dengan saling mengisi fungsi-fungsi yang ada di masyarakat. Pola tindakan ini akan terus dijaga dan membuat interaksi anggota-anggota masyarakat menjadi efisien. Terciptalah stabilitas dan prediktibilitas. Contoh konflik tersebut adalah antara majikan dan buruh, dokter dan pasien, atau polisi dan penjahat.

Sistem kepribadian memandang manusia selalu menjalankan peran itu tidak saja mengacu pada nilai-nilai dalam sistem sosial, melainkan juga pada disposisi kebutuhan masing-masing orang. Jadi, setiap manusia memiliki disposisi kebutuhannya sendiri-sendiri, yang terdiri dari preferensi (jika dihadapkan pada pilihan, saya lebih suka itu daripada ini...), hasrat (secara instinktif saya cenderung berbuat itu...); dan keinginan (saya berharap mendapatkan itu...). Di sini Parsons banyak dipengaruhi oleh tokoh psikoanalisis Sigmund Freud.

Lalu, ada sistem budaya. Di sini manusia mengkoordinasikan tindakan-tindakannya agar tidak terjadi perbenturan ekspektasi dan perebutan pemenuhan kebutuhan. Sistem ini terdiri dari tiga wilayah penerapan, yang dilambangkan dengan: (a) Simbol-simbol kognisi. Contoh: angka-angka untuk menunjukkan perhitungan pembagian keuntungan dalam laporan keuangan. Angka-angka itu menyimbolkan sistem budaya dari aspek kognitif. (b) Simbol-simbol ekspresi (emosi). Contoh: benda-benda seni yang bisa dinikmati bersama oleh masyarakat. Candi, misalnya, adalah simbol sistem budaya yang ekpresif. (c) Simbol-simbol nilai (moral). Contoh: aturan hukum yang mengamanatkan tujuan yang ideal (keadilan) bagi segenap masyarakat. Parsons memberi tekanan pada pentingnya sistem budaya ini. Sebab, hanya dengan nilai-nilai terlembagakan dalam sistem budaya ini tercipta kesepakatan tentang standar perilaku untuk mengevaluasi perilaku konkret dan pola-pola pembagian sumber daya.
Pada tahun 1956, Parsons mengoreksi teori sistemnya tersebut dengan menyebutkan 4 subsistem dalam sistem masyarakat. Kali ini ia menyebut empat sistem, yaitu SISTEM EKONOMI, SISTEM POLITIK, SISTEM SOSIAL, dan SISTEM BUDAYA. Masing-masing sistem tersebut memiliki fungsi untuk adaptation, goal attainment, integration, dan latency. Keempat fungsi inilah yang dikenal dengan singkatan AGIL. Keempat fungsi ini terjalin secara dependen membentuk sistem aturan dengan model sibernetis (cybernetic model of system regulation). Jika diilustrasikan akan tampak sebagai berikut.




Dalam sistem ekonomi (atau bisa juga dipahami sebagai "subsistem" karena ia menjadi bagian dari sistem kemasyarakatan yang lebih luas) masyarakat diarahkan agar bertindak adaptif guna memenuhi kebutuhan hidup mereka, yakni mendapatkan benda-benda material agar mampu bertahan hidup. Dalam sistem politik, masyarakat dirahkan untuk mengikuti kebijakan si pemegang kekuasaan guna mencapai suatu tujuan bersama. Sistem sosial juga memiliki fungsinya sendiri, yaitu agar masyarakat diminta memelihara keutuhan sosial (integrasi sosial) dengan antara lain menaati aturan hukum. Terakhir adalah sistem budaya. Di sini masyarkat diarahkan bertindak sesutu nilai-nilai dari lembaga budaya yang sudah eksis, seperti masjid, gereja, sekolah, dll.

Namun, perlu hati-hati karena setiap lembaga budaya ini sebenarnya tidak hanya menjalankan sistem budaya (fungsi latency). Gereja, misalnya, juga menjalankan keempat unsur dari AGIL tersebut sekaligus. jadi, gereja adalah suatu lembaga dalam subsistem budaya (berfungsi untuk: latent pattern maintenance and tension management), sekaligus menjalankan fungsi-fungsi berbeda yang diperankan oleh:
 a. komisi liturgi dan kelompok doa ~ latency (komitmen pada nilai)
 b. komisi disiplin ~ integration (memberikan pengaruh sosial)
 c. dewan paroki ~ goal attainment (menegakkan kekuasaan)
 d. panitia dana ~ adaptation (mengumpulkan sumber daya/uang)

Pemikiran Parsons sangat menarik walaupun tidak berarti tanpa kritik. Parsons dikritik karena  menekankan bahwa ciri pada masyarakat modern adalah komitmen mereka yang kuat pada nilai-nilai (subsistem budaya). Kenyataannya tidak selalu demikian. Contoh, rasisme tetap saja masih eksis pada masyarakat di negara-negara maju. Teori Parsons terkait dengan subsistem budaya ini kurang detail (dibandingkan misalnya dengan aliran Strukturalisme dan Pascastrukturalisme). Konsep-konsep yang diajukan Parsons hanya tentang nilai dan norma. Teori Parsons terpengaruh pada fungsionalisme, seolah-olah setiap orang sudah mempunyai peran sendiri-sendiri dan terkukung pada peran-peran itu. Padahal, subjek manusia mempunyai kreativitas untuk menciptakan peran-peran baru.

Dosen kami (Bapak Shidarta) berpendapat bahwa teori Parsons tentang model sibernetika sebenarnya dapat dielaborasi sehingga menjadi setidaknya menjadi enam subsistem yang saling terkait [lihat penjelasannya dalam buku Shidarta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir (Bandung: Refika Aditama, 2010)]. Perhatikan, bahwa dalam ragaan di bawah ini ada sumber nilai dan sumber energi. Subsistem sosial juga dibedakan dengan subsistem hukum. Jika dilihat dari sudut subsistem hukum ini, terlihat dari mana arah sumber material hukum itu berasal, dan darimana pula arah sumber formal hukum tersebut datang.

 TEORI KONFLIK
Teori Konflik dikemukakan antara lain oleh Karl Marx, C. Wright Mills, Tom B. Bottomore, Ralf Dahrendorf, Randall Collins, dan Richard P. Appelbaum. Di antara tokoh-tokoh di atas, nama Marx tentu paling banyak disorot.



Menurut Karl Marx, sejarah masyarakat terjadi karena persaingan antar kelas (konsep alineasi memperebutkan sumber daya alam). Kapitalisme makin mempertajam persaingan itu. Namun, ia meramalkan bahwa suatu saat kelas borjuis akan dikalahkan oleh kelas proletar. Ramalan Marx ini berangkat dari dua teori yang dikemukakannya yaitu Teori Eksploitasi dan Teori Evolusi Kapitalisme.
Teori Eksploitasi:  Dunia modern diperintah oleh logika akumulasi komoditas. Nilai komoditas itu mencakup kualitas pekerjaan manusia. Kaum borjouis tidak membeli kualitas pekerjaan itu, tetapi hanya mau membayar tenaga buruh semurah mungkin. Padahal, ada nilai lebih dari tiap pekerjaan yang tak pernah diperhitungkan. Eksploitasi terjadi terus menerus oleh kaum kapitalis terhadap kaum proletar.   

Teori Evolusi Kapitalisme: Mekanisasi akan terus terjadi dalam sistem produksi. Kaum kapitalis akan mengakumulasi modal untuk investasi mekanistis ini. Buruh akan kalah bersaing dengan mesin. Upah makin rendah, terjadi pemelaratan yang menyulut pemberontakan massal. Sementara itu barang yang diproduksi tidak laku terjual karena daya beli menurun. Krisis terhadap kapitalisme diramalkan pasti makin lama akan makin berat.

Jadi, penganut teori konflik sangat dipengaruhi oleh materialisme historis ala Marx. Dalam paham ini, struktur masyarakat ditentukan oleh cara mereka berproduksi. Alat produksi adalah materi terpenting yang menentukan struktur sosial.  Ralf Dahrendorf (1976) menyatakan: "Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan."  Disensus dan konflik terjadi di mana-mana. Setiap unsur masyarakat berkontribusi pada terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Dalam konflik selalu terjadi pemaksaan di antara sesama anggota masyarakat. Konflik adalah sesuatu yang tidak terelakkan dalam masyarakat. Selain ada proses ASOSIATIF, tentu ada proses DISASOSIATIF. Jonathan H. Turner mengatakan, konflik tidak selalu berujung pada kehancuran sistem, namun justru bisa memperkuat sistem baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian tertentu. Contoh persaingan usaha memperkuat dan menyehatkan perekonomian nasional; menguntungkan konsumen; mendorong terjadinya inovasi di bidang teknologi, dll.). Teori Konflik menekankan pertentangan terus-menerus di antara unsur-unsur dalam masyarakat (disintegrasi sosial).
Masyarakat berada dalam proses perubahan (konflik itu pertanda perubahan). Keteraturan dapat saja terjadi karena ada satu golongan berkuasa yang memaksakan kehendaknya.


TEORI INTERAKSI SIMBOLIK
Teori Interaksi Simbolik ditokohi antara lain oleh Georg Herbert Mead, Manford H. Kuhn, Herbert Blumer, Ralp H. Turner, Howard S. Becker, Norman K. Denzin, dan J. Ter Hiede.

Manusia itu mahluk sosial (hidup berkelompok). Sebagai mahluk sosial, mereka berinteraksi dan berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu (a.l. bahasa). Ingat manusia adalah animal symbolicum. Namun, simbol-simbol itu tidak hanya untuk keperluan berhubungan antarpribadi, melainkan juga untuk keperluan pribadi (berpikir). Setiap orang/kelompok akan memaksakan pandangannya sendiri (self-image) kepada pihak lain ~ tercipta proses “desak-mendesak” sampai kemudian terwujud WORKING CONSENSUS yang memungkinkan adanya tindakan-tindakan bersama. Working consensus itu memberi arahan tentang rencana (strategi menuju tujuan) bersama dalam hidup bermasyarakat itu.
Jadi pada tingkat mikro pun, setiap orang berusaha belajar memahami orang lain. Oleh sebab itu, sistem sosial pun mengalami MORFOGENESE (terus belajar dan mengubah dirinya sendiri). HUKUM pun dapat dipandang sebagai hasil dari morfogenese ini.

Dalam kuliah pernah dibahas suatu contoh makna sapi bagi penduduk Hindu di India. Image tentang sapi ini antara lain dibentuk melalui keyakinan mereka terhadap cuplikan Mahabharata, yang bunyinya, "One should never feel any repugnance for the urine and the dung of the cow. One should never show any disregard for cows in any way. If evil dreams are seen, men should take the names of cows. One should never obstruct cows in any way. Cows are the mothers of both the Past and the Future. Every morning, people should bow with reverence unto cows. Cows are sacred. They are the foremost of all things in the world. They are verily the refuge of the universe. They are the mothers of the very deities. They are verily incomparable. Cows are the mothers of the universe. There is no gift more sacred than the gift of cows. There is no gift that produces more blessed merit." [From the Mahabharata, Anusasana Parva, Sections LXXXIII - LXXVII - LXXVI]

Image ini saling dipertukarkan di antara sesama penganut Hindu di India, sehingga muncul suatu konsensus tentang bagaimana sapi harus diperlakukan. Image tentang sapi ini tidak hidup di kalangan non-Hindu, sehingga perlakuan terhadap sapi bisa sangat berbeda antara pemeluk Hindu dan non-Hindu. Hal yang serupa berlaku untuk image terhadap hewan babi di dalam perspektif penganut Islam, sehingga perlakuan terhadap babi akan berbeda antara pemeluk Islam dan non-Islam. Kiranya fenomena serupa berlaku juga untuk semua hal di dalam kehidupan sosial.



Ter Heide menggambarkannya Teori Interaksi Simbolik ini dengan rumus sederhana: B = fPE (B adalah behavior, f adalah fungsi, P adalah plan, dan E adalah environment). Teori ini dapat menjelaskan, misalnya atas penelitian E.M. Bruner (antropolog Univ. Illinois) terhadap masyarakat Batak Toba yang berurbanisasi di kota Medan (1957-1958) dan Bandung (1969-1970). Perilaku (BEHAVIOR) berupa solidaritas kekerabatan dan adat istiadat Batak Toba yang mulai mengendur di daerah asalnya, justru menguat sesampai mereka di Medan. Hal ini terjadi karena ENVIRONMENT di Medan yang menghadapkan mereka pada persaingan kuat di tengah beragam suku. Untuk itu mereka perlu bersatu dengan saling membantu (PLAN). Hal ini berbeda dengan perilaku orang Batak Toba di Bandung. ENVIRONMENT di Bandung dikuasai oleh adat istiadat Sunda yang dominan, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk bersaing; sebaliknya takluk pada budaya yang dominan itu.

Teori ini juga bisa menjelaskan fenomena persekutuan sesaat yang kerap terjadi dalam konflik politik. Lewis Coser misalnya menjelaskan tentang adanya "conflict binds antagonistists” (kelompok-kelompok yang bertentangan dapat bersatu demi menghadapi lawan bersama). Jadi image tentang "musuh" mengalamai morfogenese terkait dengan rencana dan kebutuhan situasional. Akibatnya, pihak-pihak ini membuat sebuah working consensus mengubah definisi musuh dan melakukan tindakan atas musuh bersama tadi. Di sini berlaku adigium yang sering terjadi dalam dunia politik antar-bangsa yakni "musuh dari musuh saya adalah kawan saya."

Pada PD II, pasukan Chiang & Mao berhenti berperang demi menghadapi musuh bersama mereka yaitu Jepang; namun ketika Jepang berhasil dikalahkan, kedua kelompok ini kembali bersitegang. Hal serupa terjadi di Indonesia. Setelah G-30-S/PKI, berbagai kelompok sosial dan keagamaan di Indonesia bersatu menghadapi PKI, melupakan untuk sementara pebedaan yang terjadi.

TEORI PERTUKARAN SOSIAL
Teori Pertukaran Sosial dikemukakan antara lain oleh Peter Michael Blau, James S. Coleman, George C. Homans, dan Peter P. Ekeh. Teori Pertukaran Sosial berpendapat manusia itu mahluk yang penuh pamrih.
Setiap orang ingin mendapatkan keuntungan dari hubungannya dengan orang lain. KEUNTUNGAN = IMBALAN (respons pihak lain) – BIAYA (kewajiban, rasa khawatir, kebosanan dll.). Perhitungan keuntungan itu merupakan pilihan rasional  (rational choice theory). Di sini terjadi pertukaran (take and give) antara IMBALAN dan BIAYA. Sekalipun demikian, dalam hal tertentu, manusia juga sadar tidak selalu keuntungan berada di pihaknya. Oleh sebab itu, untuk sementara seseorang dapat saja berkorban demi perhitungan keuntungan di kemudian hari.

Pertukaran sosial tidaklah sama dengan pertukaran ekonomi. Pada pertukaran sosial, prestasi dari para pihak tidak harus spesifik, sementara dalam pertukaran ekonomi harus spesifik. Jika dalam pertukaran ekonomi, yang terjadi adalah pertukaran KEWAJIBAN, maka pada pertukaran sosial yang terjadi adalah pertukaran HARAPAN. Ingat, bahwa HARAPAN berarti tidak selalu ada jaminan bahwa suatu hari ia pasti mendapatkan.

Prinsip rasionalitas ini sudah disinggung oleh Jeremy Bentham (tokoh utilitarianisme) dengan perhitungan PLEASURE versus PAIN. Kalkulus hedonistis (hedonistic calculus) yang dikembangkannya berangkat dari perhitungan atas faktor-faktor: intensitas (intensity); lamanya kesenangan/penderitaan berlangsung (duration); kepastian akan terjadi (certainty); jauh dekat perasaan (cepat-lambat efeknya) (propinqity); akibat yang ditimbulkan (fecundity); kemurnian (purity); dan jangkauan (extent). Perilaku mabuk (akibat mengkonsumsi minuman keras), misalnya, dapat diukur dengan melihat seberapa banyak pleasure dan pain yang dihasilkan.

Teori Pertukaran Sosial juga kerap kita praktikkan dalam hal kita memutuskan untuk menolong atau tidak menolong orang lain. Untuk itu perhatikan ilustrasi di bawah ini.

PENUTUP
Dari keempat teori ini, kita dapat melihat faktor-faktor sosial yang mempengaruhi tindakan sosial kita sebagai bagian dari masyarakat. Teori Struktural Fungsional lebih menekankan pada permainan fungsi-fungsi struktural yang ada di dalam masyarakat. Saya berbuat ini atau itu karena saya tunduk pada "aturan main" yang telah dilembagakan demi menjaga tertib sosial. Teori Konflik melihat dari sisi lain, bahwa saya berbuat ini atau itu justru karena saya tengah terlibat dalam upaya memperebutkan sumber-sumber materi kehidupan  yang terbatas. Jadi, motif penguasaan materi itulah yang utama, yang justru tidak dapat dihindarkan dalam sejarah kehidupan manusia. Perebutan ini jika dibiarkan mengikuti paham kapitalis, pasti akan berujung pada kondisi chaos. Teori Interaksi Simbolik melihat secara lebih spesifik, bahwa saya berbuat ini atau itu semata-mata karena makna simbolik (image) yang saya yakini terhadap sesuatu. Image yang saya yakini berinteraksi dengan image yang diyakini pihak lain, sehingga suatu ketika terciptalah konsensus yang memandu tindakan bersama atas dasar rencana dan kondisi yang disepekati tersebut.  Teori yang keempat adalah Teori Pertukaran Sosial yang memandang tindakan sebagai akibat adanya pertukaran harapan antara pain dan pleasure, atau kerugian dan keuntungan.

Proses Sosial

Proses Sosial
Sosiologi mengkaji masyarakat baik dalam keadaan diam maupun bergerak.  Istilah "proses sosial" menunjukkan sisi dinamis (gerak) dari masyarakat. Inilah yang membedakannya dengan analisis terkait struktur sosial yang lebih menunjukkan sisi statisnya.

Proses sosial adalah cara berhubungan timbal-balik (saling mempengaruhi) di antara individu/kelompok manusia. Proses sosial ini mendorong munculnya PERUBAHAN SOSIAL. Bentuk-bentuk (pola) hubungan ini disebut INTERAKSI SOSIAL. Semua bentuk interaksi sosial memerlukan adanya:
 1. KONTAK SOSIAL
     - bisa positif (ke arah kerja sama) atau negatif (konflik)
     - bisa primer (temu fisik) atau sekunder (via alat komunikasi)
 2. KOMUNIKASI
     - ada 5 unsur: komunikator, komunikan, pesan, media, efek
     - ada 3 tahap: encoding, penyampaian, decoding.

INTERAKSI SOSIAL sangat diminati sebagai objek kajian. Salah satunya dengan pendekatan yang disebut  interaksionisme simbolik. Dalam interaksionisme simbolik, suatu subjek bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimilikinya. Untuk itu dikenal ada 3 unsur penting yang berperan, yaitu: (1) ACT: seseorang bertindak; (2) THING: terhadap sesuatu; dan (3) MEANING: berdasarkan makna yang dimilikinya. Dalam perspektif ini, setiap tindakan bisa saja dimaknai berbeda oleh subjek-subjek yang berlainan. Dalam contoh di kelas dikemukakan tentang pembentuk undang-undang (subjek) yang memaknai perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974. Padahal, perkawinan itu sendiri mempunyai banyak makna. Seiring dengan perkembangan, boleh jadi pembentuk undang-undang (di DPR)sekarang inipun sudah memiliki makna baru lagi tentang perkawinan yang berbeda dengan rekan mereka pada saat membuat UU No. 1 Tahun 1974 itu.






Di sini terlihat ada interaksi makna-makna simbolik tentang perkawinan itu antara subjek dan objeknya. Jika subjeknya berubah, maknanya yang diberikan subjek-subjek itu juga sangat mungkin akan berubah dan hal ini akan mengubah wujud dari objeknya. Misalnya, pembentuk undang-undang mengubah (ACT) bunyi pasal tentang definisi perkawinan (katakanlah sekarang perkawinan tidak lagi diartikan sebagai ikatan batin antara pria dan wanita, tetapi ikatan batin antara sesama manusia), boleh jadi model perkawinan pun (THING) akan berbeda. Bukan mustahil perkawinan sesama jenis kelamin dimungkinkan.

Kualitas interaksi sosial itu dalam beberapa segi juga dipengaruhi oleh cara-cara berkomunikasi. Interaksi sosial yang berkualitas adalah interaksi sosial yang komunikatif. Ilmu-ilmu psikologi dan komunikasi dapat memberi kontribusi bagi sosiologi dalam pokok bahasan ini. Dalam perkuliahan di kelas sudah diberi contoh tentang wilayah teritorial manusia tatkala ia berinteraksi dan berkomunikasi, juga bahasa tubuh yang diperagakannya.

Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
Secara umum, interaksi sosial dapat dicermati bentuknya ke dalam dua kategori, yaitu interaksi sosial yang konstruktif (asosiatif) dan destruktif (disasosiatif). Masing-masing bentuk ini dapat dibedakan lagi menjadi beberapa pola:
1. ASOSIATIF
 a. Ko-operasi (kerja sama)
 b. Akomodasi
 c. Asimilasi
 d. Akulturasi
2. DISASOSIATIF
 a. Kompetisi (persaingan)
 b. Kontravensi
 c. Konflik (pertikaian)
ASOSIATIF:
1.a. Ko-operasiKo-operasi timbul karena orientasi individu yang sesuai dengan kelompoknya (in group) ada kepentingan yang sama. Tiga bentuk KO-OPERASI:
* Bargaining: Kerja sama berupa saling bertukar barang/jasa (contoh jual beli di pasar tradisonal).
* Co-optation:  Kerja sama dengan menerima nilai/unsur baru dari pihak yang lebih kuat posisi tawarnya. Contoh: jual beli dengan klausula baku.
* Coalition: Kerja sama dari beberapa pihak yang sebenarnya berbeda karakter/struktur organisasi, namun memiliki tujuan yang sama. Contoh: kerja sama partai politik membentuk kabinet.

1.b. Akomodasi. Akomodasi timbul karena para pihak berusaha untuk mencapai titik keseimbangan (equilibrium) untuk meredakan pertentangan mencapai kestabilan. Berbagai bentuk AKOMODASI:
* Toleration: Ada pihak yang untuk sementara menghindar.
* Coercion: Pihak yang lemah terpaksa menerima (misal perbudakan)
* Compromise: Para pihak saling menurunkan tuntutannya.
* Adjudication: Penyelesaian di pengadilan.
* Arbitration: Penyelesaiana dengan menunjuk pihak ketiga sebagai arbiter.
* Mediation: Penyelesaian dengan menunjuk pihak ketiga sebagai mediator.
* Conciliation: Penyelesaian dengan meminta pihak lain sebagai fasilitator.
* Stalemate:  Para pihak berhenti konflik karena terjadi deadlock (cold-war).

1.c. Asimilasi. Asimilasi timbul karena satu pihak mengidentifikasikan dirinya sama dengan pihak lain yang lebih dominan (meleburkan diri). Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya asimilasi antara lain adalah sikap toleran, siap membuka diri bagi orang asing, kesamaan tingkat kesejahteraan, persamaan budaya (agama, bahasa, adat istiadat, dll.), persamaan ciri fisik, perkawinan campuran (amalgamasi), ada musuh bersama, dan ada dukungan kondusif dari pemerintah.

1.d. Akulturasi. Akulturasi timbul karena beberapa pihak saling membuka diri sehingga ada unsur kebudayaan yang saling bertukar dan diterima penuh sebagai adat istiadat yang baru.


2. DIASOSIATIF:
2.a. Kompetisi. Kompetisi timbul karena ada perbedaan kepentingan di antara beberapa pihak, sehingga mereka saling berlomba memperebutkan satu posisi tertentu, baik yang pribadi (rivalry) maupun kelompok. Contoh: persaingan memperbutkan jabatan ketua senat mahasiswa atau persaingan menjadi juara lomba olahraga.

2.b. Kontravensi. Kontravensi timbul karena perbedaan pemahaman/pandangan pada satu pihak terhadap pihak lain, sehingga muncul sikap dan/atau perilaku menentang (namun belum sampai pada tahap penggunaan kekerasan). Contoh: kontravensi karena tradisi (diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya), kontravensi menyangkut perbedaan gender, atau bahkan kontravensi di bidang politik.
2.c. Konflik. Konflik timbul karena para pihak berusaha mencapai tujuan masing-masing dengan cara saling menentang pihak lawan dengan cara memberi ancaman dan/atau menggunakan kekerasan. Contoh: konflik pribadi; konflik rasial; konflik kasta/kelas sosial, dan konflik internasional (a.l. perang terbuka).
Menurut C.J.M. Schuyt (1981) ada enam cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik:
(1) Pihak yang satu menundukkan diri pada pihak lain
(2) Para pihak melakukan musyawarah
(3) Para pihak minta pihak ketiga menjadi perantara
(4) Diselesaikan melalui mekanisme pengadilan (hakim)
(5) Diselesaikan melalui solusi politik administrasi pemerintah
(6) Diselesaikan melalui tindak kekerasan.
Schuyt lalu mengembangkan hoefijzer model (model tapal kuda) yang dapat diilustrasikan sebagai berikut:



Model nomor 1 dan model nomor 6 sebaiknya dihindari, sedangkan yang paling ideal adalah model nomor 2, 3, 4, dan 5.

Minggu, 15 Mei 2011

Fakta Sosial dan Tindakan Sosial

Fakta Sosial dan Tindakan Sosial
Objek kajian sosiologi berpusat pada 2 hal, yakni mempelajari status dan proses sosial. Dalam proses sosial, masyarakat manusia dilihat sebagai entitas yang terus menerus mengalami perubahan. Proses sosial terjadi karena ada interaksi sosial, untuk dapat terjadi interaksi sosial diperlukan kontak sosial dan komunikasi.
Jika 1 individu atau kelompok berinteraksi karena dipengaruhi faktor eksternal atau kekuatan dari luar, maka bentuk interaksi ini disebut Fakta Sosial (Saya berbuat karena dipengaruhi). Pendapat ini dikemukakan oleh Durkheim.
Dan jika 1 individu/kelompok berinteraksi karena ingin mempengaruhi individu atau kelompok lain, atau kekuatan dari dalam (otonom) maka bentuk interaksi ini disebut Tindakan Sosial. Pendapat ini dikemukakan oleh Weber.
Faktor eksternal dalam faktor sosial adalah nilai dan norma yang mengajarkan individu atau masyarakat agar hidup rukun dan teratur. Faktor eksternal dalam prilaku manusia untuk terciptanya suatu tertib sosial. Kerukunan dan keteraturan demikian dapat bertahan karena didukung oleh solidaritas sosial, yang bersifat mekanis yang berlangsung pada masyarakat primitif (segmental) dan juga solidaritas organis yang berlangsung pada masyarakat modern (nasional).
Durkheim meneliti beberapa fenomena fakta sosial ini yakni pada pembagian lapangan kerja (The Division of Labor in Society) dan beberapa model bunuh diri (Suicide), yaitu :
·         Altruistic Suicide, contohnya Tentara
·         Egoistic Suicide
·         Anomic Suicide, biasanya yang berhubungan dengan ekonomi, perkawinan, kesejahteraan.
Weber menambahkan ada objek sosiologi yang disebut tindakan sosial yang ternyata dipengaruhi oleh motif-motif subjektif (interpretasi si subjek atas lingkungannya). Sosiologi berusaha memahami pola-pola tindakan sosial (kecenderungan masyarakat berperilaku tertentu).  Ada 4 Tindakan Sosial menurut Weber, yaitu :
·         Tradisional, contohnya berdoa setiap hari
·         Afektif, hanya mengikuti nafsu
·         Rasionalitas Nilai, misalnya dalam belajar
·         Rasionalitas Instrumental, misalnya dalam militer dan ekonomi
Weber mengakui bahwa dalam kecenderungan perilakunya itu, masyarakat menerima legitimasi otoritas-otoritas tertentu. Dan, otoritas berdasarkan atas legal-rasional dinilainya sebagai otoritas yang sesuai dengan sistem masyarakat modern. Ada 3 tipe Otoritas menurut Weber, yaitu :
·         Otoritas Tradisional, contohnya Rohaniwan
·         Otoritas Kharismatis, contohnya Soekarno
·         Otoritas Legal dan Rasional

Sosiologi Hukum

Sosiologi Hukum
Istilah sosiologi berasal dari Auguste Comte dalam bukunya “Course de Philosophie Positive”  yang berasal dari kata Latin socius yang artinya kawan atau masyarakat, dan logos artinya ilmu. Dalam bukunya Comte mengemukakan tentang dalil-dalil untuk kemajuan manusia (The Law of Three Stages). Menurut Auguste Comte, dalam sejarahnya masyarakat berkembang menurut 3 tahap :
1.      Pada tahap Teologis / Fiktif
Pada tahap ini manusia masih dalam tahap kanak-kanak dan percaya pada hal-hal gaib atau supranatural (Animisme, Politheisme, Monotheisme). Manusia tunduk pada kekuatan supranatural ini tanpa bisa berbuat apa-apa kecuali berdoa dan memohon ampun.
2.      Pada tahap Metafisis / Abstrak
Pada tahap ini manusia diibaratkan sudah memasuki masa remaja dan sudah berusaha mempengaruhi kekuatan supranatural, misalnya dengan mengungkapkan teori-teori tentang alam, materi, Tuhan, ratio, dll yang spekulatif, atas dasar itu manusia memandang dapat menjelaskan dan meramalkan secara fenomena alam dan mengarahkan manusia ke kebahagiaan. Tahap ini sekilas terkesan logis, tapi non-eksperimental.
3.      Pada tahap Positif
Pada tahap ini manusia diibaratkan sudah dewasa dan tidak lagi tunduk pada kekuatan supranatural, dan mampu mengendalikan kekuatan itu dengan kekuatan sendiri, misalnya membuat vaksin untuk mencegah penyakit, membuat prakiraan atas dasar teori-teori ilmiah (cuaca, bencana, dll). Tahap ini sepenuhnya dapat dijelaskan secara logis dengan pembuktian empiris.
Kesimpulan dari 3 tahap tersebut diatas adalah, tidak mungkin suatu masyarakat akan pindah secara total dari tahap 1, tahap 2, dan ke tahap 3.
Auguste Comte dikenal sebagai Bapak Positivisme atau Bapak Sosiologi
Pendapat Comte mengenai 3 tahap ini, menurut William Whewell dalam bukunya “On the Philosophy of Discovery”, justru bertolak belakang dengan fakta sejarah.
Kebudayaan adalah suatu sistem terpadu dari :
-          Kepercayaan (pada Tuhan, pada benda tertentu),
-          nilai-nilai (aturan normatif),
-          adat istiadat (pola perilaku),
-          lembaga-lembaga (pemerintah, hukum, gereja, rumah sakit, pabrik, toko, serikat, club, dll)
yang mengikat masyarakat bersama-sama dan memberikan kepadanya suatu rasa memiliki jati diri, martabat, keamanan, dan kesinambungan.
Sosiologi merupakan ilmu yang paling dewasa dan merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, Sosiologi mengkaji Struktur Sosial dan Proses Sosial.
Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan unsur-unsur sosial yang pokok meliputi norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, lapisan-lapisan sosial. Ini yang disebut oleh Comte sebagai Sosiologi Statis
Proses sosial adalah pengaruh timbal balik berbagai segi kehidupan bersama (Ekonomi-Politik, Hukum-Agama, dll), atau perubahan-perubahan dalam struktur sosial. Ini yang disebut Comte sebagai Sosiologi Dinamis.
Sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi yang mempelajari hukum dengan pendekatan empiris, yaitu Hukum sebagaimana ia berlaku di masyarakat dan bukan Hukum sebagaimana tercantum dalam teks-teks normatif.
3 karakteristik utama sosiologi hukum :
1.      Menjelaskan tentang penerapan hukum dalam praktik di masyarakat
2.      Menguji kesahihan empiris suatu peraturan, kebijakan, dan atau putusan pengadilan
3.      Tidak membedakan penilaian perilaku sosial antara yang menyimpang dan menaati hukum.