Minggu, 19 Juni 2011

Tiga Tipe Hukum dari Nonet & Selznick

Tulisan di bawah ini diangkat dari dua buku. Pertama, karya dari Philippe Nonet dan Philip Selznick berjudul "Law and Society in Transition: toward Responsive Law" dan buku kedua berjudul "Politik Hukum di Indonesia" karya Moh. Mahfud M.D.

Philippe Nonet lahir dan besar di Belgia. Ia mendapat pendidikan hukum dan meraih doktor di bidang ini pada tahun 1961. Setelah itu ia belajar dan mengajar di bagian sosiologi UC Berkeley sebelum bergabung di Boalt Faculty pada 1977. Nonet adalah Charge de Cours pada the Universite Catholique de Louvain dari tahun 1966 sampai dengan 1970, seorang visiting professor di Universitas Bremen pada 1981. Sementara itu, Philip Selznick adalah professor emeritus of law and society pada UC Berkeley. Ia meraih gelar doktor tahun 1947 dari Universitas Columbia, tempat ia menimbah ilmu dari Robert K. Merton. Selznick dikenal sebagai penggagas teori organisasi, sosiologi hukum, dan administrasi publik. 
Philippe Nonet dan Philip Selznick adalah dua nama yang dikenal luas sebagai pencetus Teori Pembangunan Hukum (Development Theory of Law), suatu teori yang diangkat dari kajian hukum menurut perspektif ilmu politik. Dua nama ini, Nonet & Selznick kerap diperbincangkan karena mereka memperkenalkan tiga tipe hukum dalam teori pembangunan hukumnya, yaitu tipe hukum represif, otonom, dan responsif.

1. Hukum Represif:
Tipe hukum represif dapat dilihat dari adaptasi yang pasif dan oportunistis dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial-politik. Kata "adaptasi" menunjukkan hukum berada pada kondisi subordinat (di bawah pengaruh) sistem sosial dan politik. Bahkan, kekuatan orang-orang yang menjadi penguasa politik dapat menembus semua pintu masuk ke dalam "sistem" hukum. Hukum dikendalikan oleh figur tokoh politik yang paling berkuasa di negara itu. Kriminalisasi adalah bentuk yang paling disukai oleh para penguasa politik dalam mengontrol warga masyarakat agar selalu menaati kehendak pemerintah. Di sinilah wajah represif itu muncul. Hukum tampil dengan wajah menakutkan dan tanpa kompromi. Sebaliknya akses warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam hukum sangatlah sempit. Keberadaan dan keberlakuan hukum tidak perlu harus memperhatikan kepentingan warga yang diperintah. Pada tipe ini hukum dan politik merupakan satu kesatuan di dalam sistem pemerintahan.
2. Hukum Otonom:
Jika pada tipe hukum represif, FIGUR sang tokoh politik sangat berperan menentukan wajah hukum, maka pada tipe hukum otonom, wajah "orang" ini berganti menjadi "sistem negara hukum" (the rule of law; rechsstaat). Konsep the rule of law (lazim disingkat: RoL) ini merupakan reaksi negara atas gagasan-gagasan keterbukaan yang kerap datang dari masyarakat luas. Atas nama hukum, desakan-desakan demikian dapat diredam. Di sisi lain, dalam tipe negara hukum otonom, tertib hukum juga dugunakan untuk menjinakkan perilaku represif negara. Jadi, tipe hukum otonom ini ingin menjadi "penengah" bagi masyarakat dan penguasa agar kedua kekuatan itu tidak saling berbenturan secara destruktif. Untuk itulah RoL mengedepankan penyelesaian masalah melalui prosedur-prosedur tertentu. Keadilan pun pada akhirnya cukup dilihat sebagai keadilan prosedural (sesuatu dianggap adil sepanjang sesuai dengan prosedur). Namun, berbeda dengan tipe represif, pada tipe hukum otonom ini hukum sudah terpisah dari politik.

3. Hukum Responsif:
Sekalipun dapat secara kasatmata terlihat bahwa Nonet & Selznick ingin menempatkan tipe hukum responsif sebagai tahapan evolusi yang tertinggi (dibanding hukum represif dan otonom), keduanya tidak ingin menyatakan bahwa tahap inilah yang paling tepat untuk semua sistem hukum. Artinya, mereka melihat masing-masing negara dapat menyesuaikan sendiri kondisi sistem hukum negara mereka dengan perkembangan yang ada. Ada kalanya masyarakat membutuhkan tipe hukum represif beberapa waktu, sebelum beralih ke tipe otonom dan responsif. Pada tipe hukum responsif ini, kompetensi menjadi ukuran bagi warga masyarakat untuk memiliki akses berpartisipasi di dalam segala sistem kemasyarakatan. Di sini urusan prosedur bisa dinomorduakan, karena yang lebih penting adalah sisi substansinya. Pada tipe hukum inilah dikenal istilah keadilan substantif itu.
Dua tipe hukum yang pertama, yakni hukum represif dan otonom pada hakikatnya berada dalam kondisi tatkala suatu negara sedang memasuki tahap pembentukan tatanan politiknya. Jika pada tahap itu sumber daya elit pemerintahannya masih sangat lemah, maka corak hukumnya akan menuju ke tipe represif. Pada tahap ini seseorang atau sekelompok kecil orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan akan memaksimalkan kekuatannya untuk memaksakan pengaruhnya terhadap masyarakat luas. Apabila pengaruh elit kekuasaan sudah mulai sedikit melemah berhadapan dengan masyarakat, maka tahapan ini sudah mengarah ke tipe hukum otonom. Tatanan politik pada tipe hukum otonom ini masih mudah berubah, dan jika komitmen masyarakatnya tidak cukup kuat, akan mudah tergelincir kembali ke tipe hukum represif.

Seorang ahli hukum Indonesia, Moh. Mahfud M.D. pernah melakukan penelitian mengenai pengaruh konfigurasi politik di Indonesia terhadap karakter produk hukumnya. Beliau adalah guru besar dari Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta) dan saat ini menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam bukunya "Politik Hukum di Indonesia" (aslinya merupakan disertasi yang bersangkutan di Universitas Gadjah Mada), Mahfud ingin melihat apakah sistem politik tertentu memiliki dampak pada peraturan perundang-undangan yang lahir pada masa itu. Untuk itu, teori pembangunan hukum dari Nonet & Selznick ini dipakai sebagai kerangka acuannya. Konfigurasi politik yang dimaksud oleh Mahfud terbagi menjadi dua, yakni demokratis dan non-demokratis. Istilah terakhir ini disamakannya dengan otoriter. Mahfud melihat Indonesia pernah memasuki kedua model politik ini, yakni pada masa era sebelum Orde Lama (periode demokrasi liberal), era Orde Lama (periode demokrasi terpimpin), dan era Orde Baru. Karakter produk hukum yang diteliti oleh Mahfud meliputi peraturan perundang-undangan di bidang pemilihan umum, pemerintahan daerah, dan agraria. Ia melihat bahwa pada konfigurasi politik yang demokratis, produk hukumnya cenderung reponsif (=populistik); sebaliknya pada konfigurasi politik yang non-demokratis atau otoriter, kecenderungan produk hukumnya adalah konservatif, ortodoks atau elitis. Kesimpulan Mahfud adalah:

(1) Pada periode 1945-1959 (demokrasi liberal), konfigurasi politik Indonesia adalah demokratis, dan kecenderungan karakter semua produk hukum (pemilu, pemda, agraria) adalah responsif. (2) Pada periode 1959-1966 (demokrasi terpimpin), konfigurasi poltiknya adalah otoriter, dan kecenderungan karakter produk hukumnya di bidang pemda adalah ortodoks/konservatif/elitis, tetapi di bidang agraria menunjukkan tipe responsif dengan alasan-alasan tertentu; sedangkan untuk bidang pemilu tidak terdapat produk tersebut pada masa itu. (3) Pada periode 1966-1998 (Orde Baru) konfigurasi politiknya adalah otoriter, dan kecenderungan semua produk hukumnya adalah ortodoks/konservatif/elitis. Alasan-alasan tertentu yang dimaksud oleh Mahfud terjadi pada bidang agraria di era demokrasi terpimpin adalah terkait dengan keberadaan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini, menurut Mahfud bukan peraturan yang positivis-instrumentalis dan memperlihatkan karakter responsifnya dengan merombak seluruh sistem yang dianut oleh Agrarische Wet 1870, menghapus domeinverklaring, menghilangkan feodalisme dan segala hak konvesinya, menghilangkan dualisme huum sehingga tercipat unifiksi hukum, serta penegasan tentang melekatnya fungsi sosial atas hak atas tanah. Posisi  unik dari UUPA ini disebabkan oleh sedikitnya empat hal: (1) UUPA berasal dari rancangan zaman demokrasi liberal yang pengundangannya tertunda; (2) UUPA membalik dasar-dasar kolonialisme yang sudah pasti ditentang oleh semua pemimpin Indonesia baik yang demokratis maupun otoriter; (3) materi UUPA tidak menyangkut distribusi kekuasaan sehingga pemberlakuannya tidak akan mengganggu sebuah rezim otoriter sekalipun, dan (4) UUPA tidak hanya memuat aspek politik (hukum administrasi negara) tetapi juga memuat masalah-masalah privat (hukum perdata).

Jika demikian halnya kesimpulan Mahfud, kita dapat menyatakan bahwa UUPA sebagai contoh produk hukum yang berkarakter responsif di Indonesia tidak muncul karena adanya konfigurasi politik (secara makro) di Indonesia yang sudah demokratis. Dengan perkataan lain, kita juga dapat mengatakan bahwa dalam kondisi (alasan-alasan) tertentu, produk hukum responsif pun dapat saja muncul sekalipun di tengah konfigurasi politik yang otoriter sekalipun. Sampai pada titik ini Mahfud ingin mengatakan bahwa DEMOKRATISASI merupakan kata kunci untuk membawa negara kita menuju ke tipe hukum responsif itu.

Jumat, 17 Juni 2011

Pluralisme Hukum

Pluralisme terjadi dalam hal tersedia dan berlakunya beraneka hukum dalam suatu wilayah dan kurun waktu bersamaan. Ini berarti pada setiap komunitas terdapat dan berlaku hukumnya sendiri-sendiiri. Indonesia termasuk negara dengan tingkat pluralisme hukum yang tinggi.
Pluralisme hukum ini makin menjadi isu penting di Indonesia karena beberapa hal: (1) peninggalan produk hukum era Hindia Belanda yang belum tergantikan; (2) eksistensi hukum adat yang pada beberapa wilayah masih sangat kuat (dan mungkin makin menguat di tengah isu otonomi daerah); (3) penerapan hukum syariah pada beberapa wilayah; (4) dampak arus transnasional, khusus di lapangan hukum ekonomi; dan (5) tidak adanya desain sistem hukum nasional Indonesia.
Dalam perkuliahan telah ditunjukkan beberaa skema pembentukan hukum nasional dari Prof. Bernard Arief Sidharta dan Prof. Sunaryati Hartono. Dari kedua skema tersebut terlihat bahwa ada prioritas untuk membangun satu sistem hukum nasional yang kuat, yang berada di atas sistem-sistem hukum lain yang ada (seperti hukum adat dan hukum agama).
Di sisi lain, ada pandangan dari Charles Stamford (dalam bukunya "The Disorder of Law," 1989) yang menyatakan sistem itu telah mengalami kekacauan (khaos). Teori "Chaos" ini menyimpulkan: (1)  hukum BUKAN suatu sistem yang tertib-teratur (seperti diklaim kaum Positivis). Hukum itu cair (melee, disorder, a-simetris), sehingga memunculkan pluralitas, diversitas, multiplisitas; (2) hukum BUKAN realitas utuh yang bisa direduksi atau diprediksi, melainkan justru unpredictable; (3) hukum BUKAN sesuatu relasi yang seimbang, tetapi justru relasi yang timpang bergantung pada realitas kekuatan-kekuatan (kekuasaan) di dalam masyarakat; (4) hukum BUKAN yang narasi yang bebas nilai, namun perlu pemahaman hermeneutis dan timbal-balik antara penafsir dan realitas yang ditafsir. Di sini penggunaan logika sintetis lebih utama daripada logika oposisi binari (on-off logic).
Pluralisme hukum sendiri berkisar pada tiga pertanyaan dasar: (1) apakah hukum = hukum negara; apakah aturan normatif lainnya juga hukum?; (2) apakah pluralisme hukum suatu konsep hukum, konsep politik, atau konsep analitis komparatif?; (3) apakah konsep pluralisme hukum memungkinkan analisis tentang hubungan kekuasaaan di antara berbagai aturan hukum?
Perlu dicatat bahwa Pemerintah Hindia Belanda pernah mencoba menerapkan unifikasi hukum, tetapi gagal. Lalu orang-orang bumiputera dibiarkan menjalankan hukum adat dan lembaga-lembaga agamanya. Jika perlu menjalankan hukum Eropa, orang bumiputera harus menundukkan diri.

Wacana tentang pluralisme hukum dapat juga dilihat dari perspektif pertentangan antara penganut mazhab sejarah dan kaum etatis. Mazhab sejarah memandang hukum itu ekspresi kebudayaan, sehingga tidak membutuhkan campur tangan penguasa. Contoh di sini adalah hukum adat yang lahir mengikuti perjalanan sejarah dari generasi ke generasi. Sebaliknya, ada yang memandang hukum di luar hukum negara BUKANLAH hukum. Penganut etatis seperti ini berkawan erat dengan pandangan kaum legisme.
Memang dalam kondisi tertentu negara juga membuat pengakuan terhadap keberadaan hukum-hukum di luar hukum negara. Pengakuan ini bisa melahirkan beberapa posisi pluralisme hukum.
Jika pluralisme hukum itu ada, tetapi hukum negara menguasai hukum-hukum lain (dalam arti ditempatkan paling penting dan dominan), maka pluralisme demikian disebut: (a) pluralisme negara (sebutan G.R. dari Woodman); (b) pluralisme relatif (sebutan dari J. Vanderlinden); atau (c) pluralisme lemah (sebuatan dari J. Griffiths). Ketiga sebutan di atas pada hakikat sama maknanya.
Kebalikan dari itu semua adalah pluralisme yang memposisi hukum negara tidak lebih tinggi atau lebih dominan dibandingkan sistem-sistem hukum lain yang juga ada di negara tersebut. Pluralisme hukum demikian disebut: (a) pluralisme dalam (Woodman); (b) pluralisme deskriptif (Vanderlinden); atau (c) pluralisme kuat (Griffiths).
Sally F. Moore mengatakan bahwa kekuasaan negara itu ternyata memang tidak bakal mampu menjangkau semua area kehidupan masyarakat. Selalu ada area-area semi-otonom, yakni kekuasaan negara itu hidup berdampingan dengan kekuasaan non-negara. Masyarakat memiliki kekuatan sendiri untuk juga mengatur diri mereka sendiri. Area demikian disebut oleh Moore dengan istilah wilayah sosial yang semi otonom (semi-autonomous social field).

Naming, Blaming, Claiming

Dalam topik tentang hukum sebagai pengendali sosial, pernah disinggung tentang Hoefijzer Model (model tapal kuda) ala Schuyt untuk menyelesaikan suatu konflik. Dalam rangka penyelesaian konflik ini, ada rangkaian langkah-langkah menarik, yang kerap dibicarakan dalam sosiologi hukum. Proses ini adalah naming, blaming, claming. Sumber bacaan untuk ini dapat dilihat dalam tulisan William L. Felstiner, Richard L. Abel, dan Austin Sarat, "The Emergence and Transformation of Dispute" yang dimuat dalam Law and Society Review, vol. 15 no. 3-4 (1980-81).

Langkah pertama adalah naming (experience). Pada tahap ini pihak-pihak yang bertikai atau mereka yang diserahi tugas menyelesaikan konflik akan menetapkan peta persoalan, khususnya memastikan bahwa telah terjadi kesalahan / kerugian atas dasar pengalaman masing-masing. Dalam hukum acara pidana, kita mengenal tahap ini sebagai penyelidikan, yang biasanya berada dalam kewenangan Kepolisian. Dalam sosiologi, tahap naming ini bukannya tanpa referensi karena apa yang benar-salah atas perilaku itu didasarkan pada pengalaman (experience). Pengalamanlah yang mengajarkan pada kita tentang nilai-nilai yang benar-salah, baik-buruk, dsb. Latar belakang pengalaman yang berbeda akan berbuah pada hasil naming yang berbeda. Di sini akan diperoleh data/informasi tentang duduk persoalan (posisi kasusnya), siapa-siapa saja yang terlibat sebagai pihak, dan apa deskripsi hak dan kewajiban masing-masing.

Langkah berikutnya adalah blaming (reaction). Di sini pihak-pihak itu bereaksi menetapkan siapa yang biasanya (sesuai  pengalaman) seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan tadi. Dalam hukum acara pidana, blaming biasanya terjadi dalam tahap penyidikan (penetapan siapa tersangka). Pada tahap ini akan diperoleh data/informasi tentang siapa yang telah melanggar kewajibannya, dan siapa yang dirugikan atas pelanggaran itu, termasuk apa kontribusi masing-masing atas kesalahan dan kerugian tadi.

Tahap ketiga adalah  claming (understanding and responsibility). Tahap ini adalah tahap untuk menentukan cara dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta. Cara inilah yang pernah dibahas dalam topik pengendalian sosial. Teori Schuyt yang disinggung di atas sebenarnya mempersoalkan tentang claming. Dalam praktik, cara meminta pertanggungjawaban dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta tidaklah tunggal. Pihak-pihak selalu mencari cara dan bentuk yang paling menguntungkan dirinya masing-masing. Pilihan hukum dan pilihan forum dilakukan dengan cara seperti orang berbelanja, sehingga disebut juga dengan istilah forum shopping. Dalam sosiologi hukum dapat ditunjukkan betapa masyarakat memiliki forum-forum sendiri untuk menyelesaikan konflik di antara mereka. Pengadilan jelas bukan satu-satunya pilihan itu.
Rumus Crime
Crime = Actus Reus + Mens Reo + Absence of a valid defense
Actus Reus à Guilty Act (dilihat dari perbuatannya salah atau tidak)
Mens Reo à Guilty Mind (sudah beralih ke orangnya tercela atau tidak)
Absence of a valid defense à Alasan penghapus pidana, contohnya Daluarsa
Naming : (biasanya dilakukan oleh Polisi)
·         Terjadi Sengketa
v  Bagaimana duduk perkaranya
v  Siapa-siapa yang terlibat
v  Apa hak dan kewajiban hukum masing-masing
v  Siapa yang sudah melaksanakan kewajiban itu dan siapa yang belum
Blaming :
·         Telah ditetapkan duduk perkara
v  Siapa diantara pihak-pihak itu yang dapat diminta pertanggungjawabannya
Claiming : (Biasanya dilakukan oleh Jaksa)
·         Telah ditetapkan duduk perkara dan pihak yang bertanggung jawab
v  Apa prosedur yang harus ditempuh, dan dimana
v  Perlukah melakukan Law/Forum Shopping
v  Perlukah melakukan Shopping Forum
Law Shopping à Choice of Law
Forum Shopping à Choice of Forum
Forum Shopping à Sudah memilih satu forum, tapi masih ada pilihan disitu, contohnya : Sudah memilih mediasi, lalu mau memilih siapa mediatornya, atau sudah memilih arbitrase, tinggal memilih siapa arbiternya.