Jumat, 17 Juni 2011

Pluralisme Hukum

Pluralisme terjadi dalam hal tersedia dan berlakunya beraneka hukum dalam suatu wilayah dan kurun waktu bersamaan. Ini berarti pada setiap komunitas terdapat dan berlaku hukumnya sendiri-sendiiri. Indonesia termasuk negara dengan tingkat pluralisme hukum yang tinggi.
Pluralisme hukum ini makin menjadi isu penting di Indonesia karena beberapa hal: (1) peninggalan produk hukum era Hindia Belanda yang belum tergantikan; (2) eksistensi hukum adat yang pada beberapa wilayah masih sangat kuat (dan mungkin makin menguat di tengah isu otonomi daerah); (3) penerapan hukum syariah pada beberapa wilayah; (4) dampak arus transnasional, khusus di lapangan hukum ekonomi; dan (5) tidak adanya desain sistem hukum nasional Indonesia.
Dalam perkuliahan telah ditunjukkan beberaa skema pembentukan hukum nasional dari Prof. Bernard Arief Sidharta dan Prof. Sunaryati Hartono. Dari kedua skema tersebut terlihat bahwa ada prioritas untuk membangun satu sistem hukum nasional yang kuat, yang berada di atas sistem-sistem hukum lain yang ada (seperti hukum adat dan hukum agama).
Di sisi lain, ada pandangan dari Charles Stamford (dalam bukunya "The Disorder of Law," 1989) yang menyatakan sistem itu telah mengalami kekacauan (khaos). Teori "Chaos" ini menyimpulkan: (1)  hukum BUKAN suatu sistem yang tertib-teratur (seperti diklaim kaum Positivis). Hukum itu cair (melee, disorder, a-simetris), sehingga memunculkan pluralitas, diversitas, multiplisitas; (2) hukum BUKAN realitas utuh yang bisa direduksi atau diprediksi, melainkan justru unpredictable; (3) hukum BUKAN sesuatu relasi yang seimbang, tetapi justru relasi yang timpang bergantung pada realitas kekuatan-kekuatan (kekuasaan) di dalam masyarakat; (4) hukum BUKAN yang narasi yang bebas nilai, namun perlu pemahaman hermeneutis dan timbal-balik antara penafsir dan realitas yang ditafsir. Di sini penggunaan logika sintetis lebih utama daripada logika oposisi binari (on-off logic).
Pluralisme hukum sendiri berkisar pada tiga pertanyaan dasar: (1) apakah hukum = hukum negara; apakah aturan normatif lainnya juga hukum?; (2) apakah pluralisme hukum suatu konsep hukum, konsep politik, atau konsep analitis komparatif?; (3) apakah konsep pluralisme hukum memungkinkan analisis tentang hubungan kekuasaaan di antara berbagai aturan hukum?
Perlu dicatat bahwa Pemerintah Hindia Belanda pernah mencoba menerapkan unifikasi hukum, tetapi gagal. Lalu orang-orang bumiputera dibiarkan menjalankan hukum adat dan lembaga-lembaga agamanya. Jika perlu menjalankan hukum Eropa, orang bumiputera harus menundukkan diri.

Wacana tentang pluralisme hukum dapat juga dilihat dari perspektif pertentangan antara penganut mazhab sejarah dan kaum etatis. Mazhab sejarah memandang hukum itu ekspresi kebudayaan, sehingga tidak membutuhkan campur tangan penguasa. Contoh di sini adalah hukum adat yang lahir mengikuti perjalanan sejarah dari generasi ke generasi. Sebaliknya, ada yang memandang hukum di luar hukum negara BUKANLAH hukum. Penganut etatis seperti ini berkawan erat dengan pandangan kaum legisme.
Memang dalam kondisi tertentu negara juga membuat pengakuan terhadap keberadaan hukum-hukum di luar hukum negara. Pengakuan ini bisa melahirkan beberapa posisi pluralisme hukum.
Jika pluralisme hukum itu ada, tetapi hukum negara menguasai hukum-hukum lain (dalam arti ditempatkan paling penting dan dominan), maka pluralisme demikian disebut: (a) pluralisme negara (sebutan G.R. dari Woodman); (b) pluralisme relatif (sebutan dari J. Vanderlinden); atau (c) pluralisme lemah (sebuatan dari J. Griffiths). Ketiga sebutan di atas pada hakikat sama maknanya.
Kebalikan dari itu semua adalah pluralisme yang memposisi hukum negara tidak lebih tinggi atau lebih dominan dibandingkan sistem-sistem hukum lain yang juga ada di negara tersebut. Pluralisme hukum demikian disebut: (a) pluralisme dalam (Woodman); (b) pluralisme deskriptif (Vanderlinden); atau (c) pluralisme kuat (Griffiths).
Sally F. Moore mengatakan bahwa kekuasaan negara itu ternyata memang tidak bakal mampu menjangkau semua area kehidupan masyarakat. Selalu ada area-area semi-otonom, yakni kekuasaan negara itu hidup berdampingan dengan kekuasaan non-negara. Masyarakat memiliki kekuatan sendiri untuk juga mengatur diri mereka sendiri. Area demikian disebut oleh Moore dengan istilah wilayah sosial yang semi otonom (semi-autonomous social field).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar