A.
LATAR BELAKANG
Hukum
dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang
mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi posistif dan
negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Perjanjian-perjanjian tersebut kemudian menjadi tatanan perdagangan
internasional, yang mempunyai tujuan akhir yaitu liberalisasi perdagangan
internasional antara lain dengan dihapuskannya hambatan-hambatan tarif atau nontarif[1]
menuju area perdagangan bebas antar negara.
Berangkat
dari kondisi dan perkembangan ekonomi yang berbeda pada negara-negara yang
ambil bagian dalam perjanjian-perjanjian internasional tersebut maka sebenarnya
tidak semua negara siap untuk menghadapi era perdagangan bebas yang telah disepakati
pada GATT atau WTO, terutama
negara-negara berkembang atau yang disebut dengan negara dunia ketiga[2]
Perkembangan
ekonomi yang semakin mengarah kepada pasar bebas tidak dapat dihindari lagi
dengan menyatunya ekonomi semua bangsa. Bagi negara berkembang seperti
Indonesia pola perdagangan bebas ini telah menimbulkan ketergantungan dan
integrasi ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. Hal ini merupakan salah
satu penyebab dari adanya persaingan antara pelaku ekonomi dalam perdagangan
internasional yang semakin ketat, persaingan ini tampaknya semakin mendorong
untuk terjadinya persaingan curang. Salah satunya adalah dumping. [3]
Dumping adalah praktik yang
dilakukan oleh negara pengeskpor dalam menentukan harga dibawah atau lebih
rendah dari nilai nominalnya atau unit
cost yang sebenarnya atau dapat juga dikatakan menjual dengan harga lebih
murah di negara pengimpor dari pada di negara produsernya sendiri.[4]
Latar belakang filosofis ekonomi lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Praktek Usaha Tidak Sehat dimaksudkan
untuk menciptakan pemeratan ekonomi dan melindungi konsumen dari aspek harga
didalam pasar, sehingga menghindari persaingan tidak sehat. Terutamanya,
persaingan antara pelaku usaha lokal dengan pelaku usaha asing yang turut serta
meramaikan pasar konsumen di Indonesia. Langkah diatas patut dijalankan
mengingat kecenderungan di era globalisasi, pelaku usaha dari negara-negara
maju cenderung memaksakan persaingannya dengan pelaku usaha di negara
berkembang, sehingga posisi pelaku sauah di negara berkembang yang masih
tergolong lemah dapat sewaktu-waktu akan tersingkir jika tidak dilindungi di
dalam pasar.
Dumping
merupakan suatu istilah yang digunakan dalam perdagangan internasional, adalah
praktik dagang yang dilakukan eskportir dengan menjual komoditi dipasaran
internasional dengan harga yang kurang dari wajar atau lebih rendah dari harga
barang tersebut di Negerinya sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain
pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan
merugikan produsen pesaing di negara pengimpor[5].
Dalam Black’s Law Dictionary, pengertian dumping dinyatakan sebagai
berikut .
“the act of selling in
quantity at a very low price or practically regardless of the price; also,
seling goods abroad at less than the market price at home”
Dumping
dapat dikatakan sebagai diskriminasi harga, hal ini berarti menjual barang yang
sama dengan harga berbeda pada pasar-pasar yang terpisah. Hal ini biasanya
sejalan dengan suatu posisi monopoli di pasar dalam negeri yang [6]bersangkutan,
pembentukan kartel atau biaya yang melindungi terhadap impor yang lebih murah.
Dapat juga diartikan sebagai penawaran di luar negeri dengan harga di bawah
biaya produksi pada negara yang mengekspor. Menurut Robert Willig, mantan
kepala ahli ekonomi pada divisi Antitrust
Departemen Hukum Amerika Serikat, ada lima tipe dumping berdasarkan tujuan
dari eksportir, kekuatan pasar, dan struktur pasar import, atau sebagai berikut
:
1.
Market
Ekspansion Dumping
Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan “mark-up” yang lebih rendah dari pasar
impor karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga
yang ditawarkan rendah. [7]
2.
Cyclical
Dumping
Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal
yang luar bisas rendah dan tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang
menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari
pembuatan produk detail. [8]
3.
State
Trading Dumping
Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan
kategori dumping lainnya, tetapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya.[9]
4.
Strategic
Dumping
Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan
perusahaan saingan di Negara pengimpor melalui strategi keseluruhan dari Negara
pengeskpor, baaik dengan cara pemotongan haga ekspor maupun dengan pembatasan
masuknya produksi yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi
pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolak ukur skala
ekonomi, maka mereka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus
dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing.
5.
Predatory
Dumping
Istilah predatory
Dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak
pesaing dari pasaran, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara
pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya
perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis di negara pengimpor. [10]
Dumping
dapat dilihat sebagai strategi penetapan harga ekspor suatu barang lebih rendah
dari harga jual produk tersebut didalam Negerinya (nilai normal) yang dilakukan
oleh perusahaan pengeskpor dengan tujuan untuk meningkatkan pangsa pasar,
memperluas pasar atau tujuannya.
Bagaimanapun tidak seluruh dumping itu membahayakan, hanya dumping yang
merugikan yang melanggar ketentuan Antidumping seperti yang diatur dalam Agreement on Implementation of Article VI of
GATT 1994, yang merupakan Multinasional
trade Agreement (MTA), antidumping yang dipermasalahkan hanyalah dumping
yang dapat menimbulkan kerugian material pada industri dalam negeri pengimpor.
Indonesia
telah meratifikasi Agreement Establishing
WTO (World Trade Organization) berikut bagian integralnya Multilateral trade Agreements dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Esthablising the World Trade Organizatition (lembar
negara tahun 1994 nomor 57, tambahan lembar negara nomor 3564). Dengan
meratifikasi Agreement esthablising WTO
ini, Indonesia secara sekaligus telah meratifikasi pula Antidumping Code (1994) yang mana merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreements. [11]
Pasal
18.4 Antidumping Code (1994)
mewajibkan negara-negara anggotanya untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan selambat-lambatnya sebelum WTO secara resmi berdirii yaitu tanggal 1
Januari 1995 untuk mengadakan ataupun menyesuaikan undang-undang, peraturan
maupun proses administratif yang berkaitan dengan antidumping yang telah ada di
masing-masing negara anggotanya dengan
ketentuan yag tercantum dalam Antidumping
Code 1994. Sebagtai konsekuensi dari diratifikasinya agreement tersebut
oleh Indonesia, maka Idonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping
dengan menyisipkannya dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan. Ketentuan tentang antidumping tercantum dalam bab IV Bagian Pertama
pasal 18 sampai dengan pasal 20. Bab IV tersebut berjudul “BEA MASUK
ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBLAN”,sedangkan bagian pertama bersubjudul “Bea
Masuk Antidumping”. Ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar dibentuknya
peraturan pelaksana tentang antidumping Indonesia.
Walau
demikian tidak semua antidumping menimbulkan masalah, tetapi dumping yang
merugikan produsen dalam Negeri. Salah satu dumping yang merugikan adalah kasus
dumping terigu yang bersal dari Turki. Masalah ini dimulai saat Komite Anti
Dumping (KADI) Kementerian Perdagangan (2009) telah menetapkan beberapa
eksportir atau produsen terigu Turki terbukti melakukan dumping atau tindakan unfair trade, melalui proses
penyelidikan. Tindakan dumping produsen terigu Turki inilah yang menyebabkan
kerugian industri terigu lokal. Berikut ini beberapa produsen atau eksportir
terigu yang direkomendasikan terkena Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) :
a.
Bafra Eris Un Yem Gida San Ve, Tic, A.S kena 21,99%
b.
Erisler Gida Sanayi Ve Ticaret A.S kena 19,67%
c.
Marmara Un Sanayi A.S kena 18,69%
d.
Ulas Gida Un Tekstil Nakliye Ticaret Ve Sanayi A.S kena 20,86%
e.
Ulosoy Un Sanayi Ve Ticaret A.S kena 20,28%
f.
Eksportir dan produsen lainnya kena 21,99%
Tanggal
31 Desember 2009 Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu mengirim surat
2017/M-DAG/12/2009 kepada Menteri Keuangan soal usulan pengenaan BMAD produk
terigu asal Turki. Kemudian pada tanggal 15 Januari 2010 Mendag kembali
mengirimkan surat bernomor 90/M-DAG/SD/1/2010, kali ini soal masa berlaku soal
pengenaan BMAD. Tanggal 12 April 2010 Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyampaikan
surat B-119/Sekab/VI/2010 kepada Menko Perekonomian Hatta Rajasa, yang isinya
bahwa pengenaan BMAD kurang sejalan dengan upaya untuk mencari peluang
meningkatkan perdagangan dan upaya komitmen untuk memperbaiki dan memperkuat
hubungan perdagangan dan ekonomi antara Indonesia dan Turki. Juga disampaikan
bahwa jika BMAD produk terigu dikenakan kepada Turki maka akan menimbulkan
saling ada pembalasan (retaliasi) sehingga menurunkan perdagangan kedua negara.
Berdasarkan
rapat tim tarif kementerian keuangan tanggal 7 Juli 2010, telah disepakati
bahwa tim tersebut merekomendasikan kepada menteri keuangan untuk mengenakan
BMAD terhadap produk terigu Turki selama 5 tahun. Tanggal 19 Juli 2010 Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono memberikan arahan dalam sidang kabinet bahwa usulan
pengenaan BMAD produk terigu Turki agar dibahas baik-baik dengan pemerintah
Turki untuk mendapatkan solusi terbaik kedua a. negara.
Kemudian
tanggal 26 Juli 2010 menteri keuangan mengirimkan surat S-358/MK.011/2010
kepada menteri perdagangan untuk meminta konfirmasi terkait saran apakah BMAD
terigu Turki dikenakan atau tidak. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu
tanggal 20 Januari 2011 membalas surat menteri keuangan melalui surat
71/M-DAG/SD/1/2011 yang intinya permintaan soal pembahasan BMAD terigu Turki
antara Menteri Perdagangan dengan Menteri keuangan (menkeu). Kemudian Wakil
Menkeu melakukan rapat pimpinan terbatas Kementerian Keuangan tanggal 18
Februari 2011. Hasilnya disepakati mengagendakan rapat koordinasi kemenko
perekonomian , soal tindak lanjut BMAD terigu Turki. Asosiasi Produsen Tepung
Terigu Indonesia (Aptindo) mengirim surat ke menteri keuangan tanggal 8 April
2011 bernomor 335/APT/rs/IV/11, yang meminta agar menteri keuangan segera
menerbitkan peraturan menteri keuangan soal pengenaan bea masuk anti dumping
terigu Turki.
Tanggal
11 Mei 2011 digelar rakor menko perekonomian yang dihadiri oleh Mendag dan
Menkeu, yang hasilnya bahwa Menko Perekonomian akan mengkonsultasikan usulan
pengenaan BMAD terigu Turki kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Berselang
satu bulan lebih tanggal 23 Juni 2011 Menteri Keuangan Agus Martowardojo
mengirim surat bernomor S-351/MK.011/2011 ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
terkait hal tersebut.[12]
Dilihat
dari lama dan berbelit-belitnya proses penerapan suatu Bea Masuk Anti Dumping
terhadap terigu Turki ini menimbulkan beberapa masalah karena kemungkinan besar
di duga melanggar pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah yang menyatakan bahwa
“penyelidikan oleh komite akan dilaksanakan dalam jangka watu paling lambat 12
(dua belas) bulan sejak dimulainya penyelidikan”. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas
menarik perhatian peneliti untuk membahas penelitian tentang “ KETIDAKSESUAIN
PENANGANAN KASUS EKSPORT TERIGU DARI TUKRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10
TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN dan PERATURAN PEMERINTAH NO. 261/MPP/KEP/9/1996”.
Dalam
penulisan ini penulis akan membahas kasus dumping terigu oleh Turki ini dari
segi hukum dumping dan hukum Antidumping. Karena penulis berpendapat bahwa pada
era globalisasi dimana tidak ada lagi batas-batas hambatan untuk setiap Negara
melakukan hubungan kerjasama perdagangan dan semakin maraknya perdagangan bebas
dan timbul persaingan-persaingan antara para pengusaha, dalam hal ini pengusaha
Negara eksportir dan pengusaha Negara importir untuk memperoleh keuntungan,
sehingga tidak jarang para pengusaha melakukan kecurangan dengan cara dumping
dan dapat juga pengusaha importir melakukan kecurangan dengan menuduh suatu
produk atau barang merupakan barang dumping. Oleh karena penulis tertarik untuk
mengetahui lebih dalam mengenai permasalahan ini.
A. PERMASALAHAN
Berdasarkan
uraian diatas maka penulis merumuskan permasalahan yang perlu diteliti lebih
lanjut. Adapun permasalah yang penulis angkat adalah :
1. Apakah
benar terjadi dumping terigu yang dilakukan oleh turki tersebut merugikan
Indonesia dan tidak lagi sesuai dengan fair
trade sebagaimana di atur dalam World
Trade Oganization?
2. Bagaimana kesesuaian penganganan kasus ekspor
terigu dari Turki dan perlindungan hukum bagi pengusaha dalam negeri atau
penguasa di Negara importir?
3.
Apakah penyelesaian tersebut telah sesaui dengan
peraturan pelaksana peraturan pemerintah no. 261/MPP/Kep/9/1996?
B. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Berdasarkan
permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian masalah tersebut diatas yaitu
:
1.
Tujuan
a.
Untuk mengetahui tentang proses penyeledikan
hingga tahap pemutusan antidumping yang terdapat di Indonesia.
b.
Untuk mengetahui apakah proses tersebut telah
dilaksanakan secara benar dalam kasus expor terigu Turki yang telah
berkepanjang ini.
2.
Kegunaan
Adapun
kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memenuhi segi prakis dan teoritis
yaitu :
a.
Segi praktis, yaitu hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi para importer, eksportir, produsen,
pemerintah dan masyarakat luas serta dapat berguna untuk menyelesaikan serta
membantu permasalahan yang serupa.
b.
Segi teoritis, yaitu dari penelitian ini
diharapkan dapat menambah pengetahuan, informasi, bacaan, literature dan
referensi mengenai masalah export import yang terkena tuduhan dumping.
C.
KERANGKA KONSEPTUAL
Kerangka
konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep
khusus, yang ingin atau akan diteliti. Pada umumnya kerangaka konseptal
mengutamakan definisi yang ada dari suatu permasalahan atau dengan kata lain
konsep ini merupakan uraian mengenai hubungan-hubungan dengan fakta tersebut.
Proses ini berjalan induktif dengan mengamati sejumlah gejala-gejala secara
individual. Sejumlah gejala-gejala secara individual kemudian merumuskannya
dalam bentuk konsep. Judul yang diangkat oleh penulis dalam penelitian ini
adalah Dugaan Ketidaksesuain Penanganan Kasus Ekspor Terigu Dari Tukri
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Dan Peraturan
Pemerintah No. 261/Mpp/Kep/9/1996. Dari judul tersebut dapat ditarik
variable-variabel yang merupakan kerangka konseptual dari penulisan karya ilmiah
hukum ini.
Ketidaksesuaian
adalah Ketidaksesuaian adalah tidak dipenuhinya persyaratan yang telah
ditetapkan pada suatu barang atau jasa atau proses. Segala peratuan perundang-undangan yang
seharusnya diterapkan tetapi dalam prakteknya ketentuan tersebut tidak
dilakukan sehingga terjadi ketidaksesuaian dengan apa yang tertulis dan dengan
apa yang terjadi dilapangan, dalam hal ini kasus-kasus konkrit yang terjadi di
masyarakat.
Penanganan
kasus artinya langkah-langkah atau proses pemeriksaan, penyelidikan penyidikan
hingga dikeluarkannya putusan atas suatu kasus. Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang kepabeanan. Undang-undang ini merupakan bentuk ratifikasi yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia karena telah bergabung dalam WTO (World
Trade Organissation), yaitu Agreement Establishing yang tercantum dalam
Antidumping Code 1994. Ketentuan antidumping tercantum dalam bab IV bagian
pertama pasal 18 sampai dengan pasal 20. Bab IV tersebut berjudul Bea Masuk
Antidukping dan Bea masuk Imbalan. Sedangkan bagian pertama subjudul “Bea Masuk
Imbalan” ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pembuatan peraturan
pelaksanaan tentang antidumping Indonesia.[13]
D.
KERANGKA TEORITIS
Kerangka
teoritis merupakan acuan yang pada dasarnya mengadakan identifikasi terhadap
dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti atau ilmuwan
tertentu. Dalam kasus ini, penulis akan menggunakan teori serta prinsip-prinsip
yang dirasa relevan yang terkait dengan topik penulis. Pada dewasa ini pasar
dunia mengalami perubahan yang sangat besar antara lain ditandai dengan
meningkatnya kecenderungan globalisasi ekonomi, khususnya di bidang industri
dan perdagangan, serta meningkatnya intensitas persaingan bisnis. Di lain
pihak, terjadi peningkatan proteksionisme yang terutama dilakukan oleh
negara-negara maju, seperti munculnya dumping dan antidumping dalam perdagangan
internasional.
Tujuan
pokok GATT atau WTO yaitu menciptakan
liberalisasi perdagangan internasional. Dengan liberalisasi perdagangan
internasional diharapkan perdagangan dunia akan terus berkembang dan
selanjutnya seluruh kemakmuran optimal dunia akan di capai. Secara garis besar prinsip-prinsip hukum GATT 1947 menginginkan perlakuan yang
sama baik terhadap produk impor maupun produk domestik. Salah satu prinsip GATT yang kemudian tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan adalah prinsip
nondiskriminasi yang mengandung tiga bentuk perlakuan terhadap barang yang
dijual di pasar internasional. Menurut Prof. Wil. D. Verwey. Berakar dalam
prinsip liberalism barat yang dikenal dengan Trinitas yaitu Principles of freedom (prinsip
kebebasan). Pada prinsip-prinsip tersebut menganggap semua pihak sama
kedudukannya.[14]
Prinsip-prinsip
yang akan digunakan oleh penulis untuk menjawab permasalah diatas antara lain :
1. Teori Remedial,
Untuk mengatasi praktik dumping, maka di dalam ketentuan GATT-WTO ditegaskan
bahwa, apabila suatu negara terbukti melakukan praktik dumping yang dapat
menimbulkan kerugian bagi negara
pengimpor, maka negara pengimpor yang
dirugikan oleh praktik tersebut mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi balasan.
Sanksi balasan tersebut adalah berupa pengenaan bea masuk tambahan yang disebut
dengan “bea masuk antidumping” yang dijatuhkan terhadap produkproduk yang
diekspor secara dumping. Hal ini telah ditegaskan dalam Article VI section (2)
sebagai berikut.
“in order to offset or prevent dumping, a
contracting party may levy on any dumped product an antidumping duty not
greater in amount than the margin of dumping in respect of such product. For
the purpose of this Article, the margin of dumping is the price difference
determined in accordance with the
provision of paragraph 1.”
Remedi perdagangan baik berupa Anti Dumping,
Anti Subsidi maupun tindakan pengamanan (Safeguard), merupakan instrument
kebijakan perdagangan internasional yang paling banyak digunakan oleh
negara-negara importir anggota World Trade Organization (WTO) untuk melindungi
industri dalam negerinya.
Secara umum pengertian remedi perdagangan
mengacu kepada tindakan atau kebijakan pemerintah untuk menimalkan dampak
negatif dari impor terhadap industri dalam negeri.Tindakan remedi ini digunakan dalam dua kondisi baik yang
dilakukan secara tidak jujur (unfair trade) maupun secara jujur (fair trade)
tidak jarang dapat merugikan industri dalam negeri. Impor yang dilakukan secara
tidak jujur dan merugikan industri dalam negeri adalah impor produk-produk
asing dengan harga dumping, dan impor produk asing yang bersubsidi. Sedangkan
impor yang dilakukan secara jujur tapi dapat merugikan industri dalam negeri
adalah impor yang jumlahnya melonjak secara tepat dan tidak wajar. Jika
industri dalam negeri dibiarkan untuk terlindas industri asing dengan cara
membiarkan mereka melaukan praktek dumping dan subsidi serta membiarkan
terjadinya lonjakan impor, maka dikhawatirkan akan berdampak pada kerugian
perusahaan yang pada gilirannya akan mengarah pada Penghentian Hubungan Kerja
(PHK).
2. Dumping,
suatu istilah yang digunakan dalam perdagangan internasional adalah praktik dagang yang dilakukan
eskportir dengan mejual komoditi di pasaran internasioanal dengan harga yang kurang
dari nilai yang wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut dinegerinya
sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, praktik ini dinilai
tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di
negara pengimpor.[15]
3. Pengenaan
bea masuk antidumping, pada akhir penyelidikan komite akan membutikan mengenai
apakah telah terjadi adanya barang dumping yang menyebabkan kerugian atau
tidak. Atas dasar usulan komite memperindag akan menentukan besarnya nilai tertentu
untuk pengenaan bea masuk antidumping. Besarnya nilai tertentu ini dapat sama
dengan marjin dumping yang disampaikan oleh komite atau lebih rendah. Atas
dasar keputusan memeperindag, maka menteri keuangan akan menetapkan besarnya
bea masuk antidumping. Bea masuk antidumping akan berlaku sejak ditetapkan oleh
menteri keuangan dan berlaku paling lama 5 (lima ) tahun sejak keputusan
tersebut. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku kewenangan dari
menteri keungan hanya menetapkan besarnya bea masuk antidumping, tetapi tidak
menjelaskan lebih lajut apakah maka menteri keungan berwenang atau tidak untuk
mengatur dan meminta dilakukan pemeriksaan lain.
4. Ekspor-impor
merupakan dua hal yang berbeda dalam lingkup perdagangan internasional, ekspor
diartikan sebagai pengeluaran atau membawa barang yang berasal dari pasar atau
produk domestik (dalam daerah pabean) ke suatu tempat tertentu di Negara lain
(luar daerah kepabean) dengan tujuan dipertukarkan atau dijual. Sedangkan impor
adalah sebaliknya dari pada ekspor. Dengan demikian dalam dua pengertian
tersebut terdapat system, prosedur, dan persyaratan tertentu yang harus
dipenuhi kedua belah pihak. [16]
5. Menteri keuangan dalam pengadminitrasian
peraturan antidumping memiliki kewenangan :
a. Menetapkan
tindakan sementara yang dapat berupa
1) Pembayaran
bea masuk antidumping sementara
2) Penyerahan
jaminan dalam bentu uang tunai, jaminan bank, atau jaminan dari perusahaan
asuransi.
b. Mengakhiri
tindakan sementara yang dapat berupa pengenaan bea masuk antidumping atau
pencabutan tindakan sementara dan pengembalian pembayaran bea masuk anti
dumping sementara atau pengembalian jaminan
c. Menetapkan
besarnya bea masuk antidumping
d. Direktur
bea dan cukai memiliki kewenangan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Memungut
bea masuk antidumping sementara dan bea masuk antidumping
2) Menetapkan
dan mengembalikan kelebihan pembayaran bea masuk antidumping sementara
3) Menetapkan
dan mengembalikan kelebihan bea masuk antidumping
Dan hal ini menurut penulis perlu diselidiki
lebih dalam, untuk meilihat apakah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri
keuangan telah benar atau merupakan penyimpang dari pemberlakuan bea masuk
antidumping.[17]
F. METODE
PENELITIAN
Pada
penelitian hukum ini penulis memilih untuk menggunakan metode penelitian hukum
normatif yang bersifat deskriptif. Metode penelitian hukum normatif yaitu
metode penelitian yang menggunakan bahan kepustakaan (library Research) untuk membahas permasalahan hukum yang ada.
Metode penelitian yang dimaksud untuk memberikan bahan hukum yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta didukung
dengan bahan-bahan pendukung. Bahan penelitan terdiri dari dua jenis yaitu bahan
hukum dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. 1. 1. Bahan-bahan hukum terdiri dari tiga
macam yaitu :
a.
Bahan-bahan hukum primer yang diperoleh langsung
dari sumber pertama, yaitu :
1)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
2)
Undang-Undang Republik Inodenesia Nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan,
3)
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang
Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan
4)
Ketentuan Peraturan World Trade Organization
(WTO)
b.
Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan
mengenai bahan-bahan primer terdiri dari : buku-buku, hasil-hasil penelitian,
hasil karya ilmiah dari kalangan hukum, dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan serta berita-berita yang diperoleh di media
internet. Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan yaitu antara lain :
1)
hukum antidumping Indonesia dalam analisis dan
praktik
2)
pada
penelitian ini penulis memakai 2 (dua), yaitu : pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan pada
undang-undang (statute approach)
c.
badan hukum tersier adalah bahan yang memberikan
petunjuk dan penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
hukum. Bahan non hukum seperto kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Umum
Bahasa Indonesia.
2.
wawancara
penulis
akan melakukan wawancara untuk memperkuat kebenaran akan permasalahan yang ada,
pendapat dari beberapa pihak yang terkait serta pendapat dari pakar dalam
bidang dumping.
a.
Komite Antidumping Indonesia
b.
Pekerja di bidang perdagangan luar negeri
c. Asosiasi
Produsen Tepung Terigu Indonesia
G. SISTEMATIKA
PENULISAN
Bab I PENDAHULUAN
Berisikan
latar belakang, perumusan masalah, tujuan
dan kegunaan penelitian, kerangka konspetual, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II LANDASAN TEORI
Dalam bab
ini berisikan paparan teori yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti
dalam penulisan skripsi ini.
Bab III DATA HASIL PENELITIAN
Terbagi
atas uraian permasalahan dumping dan hukum antidumping yang terjadi pada kasus
impor terigu dari Turki yang merugikan perngusaha terigu di Indonesia.
Bab IV ANALISIS
Berisikan
mengenai analisis hukum terhadap kebijakan hukum perdagangan internasioanal
mengenai hukum antidumping.
Bab V PENUTUP
Dalam bab
ini penulis memuat kesimpulan dan saran dari permasalahan skripsi mengenai
Dugaan Ketidaksesuaian Penanganan Kasus Ekspor Terigu dari Turki Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 261/MPP/KEP/9.1996.
[1] Hambatan tarif adalah
hambatan terhadap barang ke dalam suatu negara yang disebabkan diberlakukannya
tarif bea masuk maupun tarif bea lainnya yang tinggi oleh suatu negara terhadap
suatu barang. Hambatan nontarif ialah hambatan terhadap arus barang ke dalam
suatu negara yang disebabkan oleh tindakan selain penerapan tarif atas suatu
barang, misalnya berupa penerapan standar tertentu atas suatu barang impor yang
sedemikian sulit dicapai oleh para eksportir. Lihat A.Setiadi, Antidumping dalam Perspektif Hukum Indonesia,
S&R Legal, Jakarta, 2011, hal. 1.
[2] Yulianto Syahya, Hukum Antidumping di Indonesia Analisis dan
Panduan praktis, (Jakarta, Gahlia Indonesia, 2004) hal. 15
[3] Huala Adolf, 2005, Hukum
Ekonomi Internasional Suatu Pengantar
Cetakan ke-5, (Bandung :CV Kenni Media) hal.5
[4] Ade Maman Suherman, Asperk Hukum Dalam Ekonomi Global,
(Jakarta, Gahlia Indonesia, 2002), hal.
132.
[5] AF. Elly Erwati dan J.S.
Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia, (Jakarta, proyek ELIPS, 1996),
hal.39
[11] A. Setiadi, Antidumping
dalam persprektif Hukum Indonesia, (Jakarta, S&R legal Co, 2001), hal. 11.
[12]
http://www.tempo.co/read/news/2009/06/01/090179254/Kasus-Dumping-Terigu-Terus-Ditelusuri-Dimulai-dari-Turki
[14] Wil D. Verwey, The Establishment of a New International
Economic Order and Realization of the Right to Development and Welfare, A
Legal Survey, Geneva, 1980, hal. 17.
[15] AF.
Elly Erawati dan J.S. Badudu, Kamus Hukum
Ekonomi Inggris-Indonesia, (Jakarta, Proyek ELIPS, 1996), hal.39.
[16] Tut Wuri
Handayani, 2009, Kementerian Pendidikan Nasioanal Direktoral Jendral Pendidikan
Formal dan Informal Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan. Hal. 3.
[17]file://localhost/Users/shalarkosifitunfuik/Documents/Microsoft%20User%20Data/SEA/smester%206/dumping%20terigu/Merasa%20Dirugikan,%20Asosiasi%20Terigu%20Gugat%20Menkeu%20ke%20PTUN%20%C2%AB%20NERACA.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar