Rabu, 22 Januari 2014

Dugaan Ketidaksesuain Penanganan Kasus Ekspor Terigu Dari Tukri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Dan Peraturan Pemerintah No. 261/Mpp/Kep/9/1996.




A. LATAR BELAKANG
Hukum dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi posistif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Perjanjian-perjanjian tersebut kemudian menjadi tatanan perdagangan internasional, yang mempunyai tujuan akhir yaitu liberalisasi perdagangan internasional antara lain dengan dihapuskannya hambatan-hambatan tarif atau nontarif[1] menuju area perdagangan bebas antar negara.
Berangkat dari kondisi dan perkembangan ekonomi yang berbeda pada negara-negara yang ambil bagian dalam perjanjian-perjanjian internasional tersebut maka sebenarnya tidak semua negara siap untuk menghadapi era perdagangan bebas yang telah disepakati pada GATT atau WTO, terutama negara-negara berkembang atau yang disebut dengan negara dunia ketiga[2]
Perkembangan ekonomi yang semakin mengarah kepada pasar bebas tidak dapat dihindari lagi dengan menyatunya ekonomi semua bangsa. Bagi negara berkembang seperti Indonesia pola perdagangan bebas ini telah menimbulkan ketergantungan dan integrasi ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. Hal ini merupakan salah satu penyebab dari adanya persaingan antara pelaku ekonomi dalam perdagangan internasional yang semakin ketat, persaingan ini tampaknya semakin mendorong untuk terjadinya persaingan curang. Salah satunya adalah dumping. [3]
Dumping adalah praktik yang dilakukan oleh negara pengeskpor dalam menentukan harga dibawah atau lebih rendah dari nilai nominalnya atau unit cost yang sebenarnya atau dapat juga dikatakan menjual dengan harga lebih murah di negara pengimpor dari pada di negara produsernya sendiri.[4] Latar belakang filosofis ekonomi lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Praktek Usaha Tidak Sehat dimaksudkan untuk menciptakan pemeratan ekonomi dan melindungi konsumen dari aspek harga didalam pasar, sehingga menghindari persaingan tidak sehat. Terutamanya, persaingan antara pelaku usaha lokal dengan pelaku usaha asing yang turut serta meramaikan pasar konsumen di Indonesia. Langkah diatas patut dijalankan mengingat kecenderungan di era globalisasi, pelaku usaha dari negara-negara maju cenderung memaksakan persaingannya dengan pelaku usaha di negara berkembang, sehingga posisi pelaku sauah di negara berkembang yang masih tergolong lemah dapat sewaktu-waktu akan tersingkir jika tidak dilindungi di dalam pasar.

Dumping merupakan suatu istilah yang digunakan dalam perdagangan internasional, adalah praktik dagang yang dilakukan eskportir dengan menjual komoditi dipasaran internasional dengan harga yang kurang dari wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di Negerinya sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor[5].
Dalam Black’s Law Dictionary, pengertian dumping dinyatakan sebagai berikut .
       “the act of selling in quantity at a very low price or practically regardless of the price; also, seling goods abroad at less than the market price at home”
Dumping dapat dikatakan sebagai diskriminasi harga, hal ini berarti menjual barang yang sama dengan harga berbeda pada pasar-pasar yang terpisah. Hal ini biasanya sejalan dengan suatu posisi monopoli di pasar dalam negeri yang [6]bersangkutan, pembentukan kartel atau biaya yang melindungi terhadap impor yang lebih murah. Dapat juga diartikan sebagai penawaran di luar negeri dengan harga di bawah biaya produksi pada negara yang mengekspor. Menurut Robert Willig, mantan kepala ahli ekonomi pada divisi Antitrust Departemen Hukum Amerika Serikat, ada lima tipe dumping berdasarkan tujuan dari eksportir, kekuatan pasar, dan struktur pasar import, atau sebagai berikut :
1.     Market Ekspansion Dumping
Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan “mark-up” yang lebih rendah dari pasar impor karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah. [7]
2.     Cyclical Dumping
Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar bisas rendah dan tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk detail. [8]
3.     State Trading Dumping
Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tetapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya.[9]
4.     Strategic Dumping
Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di Negara pengimpor melalui strategi keseluruhan dari Negara pengeskpor, baaik dengan cara pemotongan haga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produksi yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolak ukur skala ekonomi, maka mereka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing.
5.     Predatory Dumping
Istilah predatory Dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasaran, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis di negara pengimpor. [10]
Dumping dapat dilihat sebagai strategi penetapan harga ekspor suatu barang lebih rendah dari harga jual produk tersebut didalam Negerinya (nilai normal) yang dilakukan oleh perusahaan pengeskpor dengan tujuan untuk meningkatkan pangsa pasar, memperluas pasar atau tujuannya.  Bagaimanapun tidak seluruh dumping itu membahayakan, hanya dumping yang merugikan yang melanggar ketentuan Antidumping seperti yang diatur dalam Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, yang merupakan Multinasional trade Agreement (MTA), antidumping yang dipermasalahkan hanyalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian material pada industri dalam negeri pengimpor.
Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing WTO (World Trade Organization) berikut bagian integralnya Multilateral trade Agreements dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Esthablising the World Trade Organizatition (lembar negara tahun 1994 nomor 57, tambahan lembar negara nomor 3564). Dengan meratifikasi Agreement esthablising WTO ini, Indonesia secara sekaligus telah meratifikasi pula Antidumping Code (1994) yang mana merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreements. [11]
Pasal 18.4 Antidumping Code (1994) mewajibkan negara-negara anggotanya untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan selambat-lambatnya sebelum WTO secara resmi berdirii yaitu tanggal 1 Januari 1995 untuk mengadakan ataupun menyesuaikan undang-undang, peraturan maupun proses administratif yang berkaitan dengan antidumping yang telah ada di masing-masing  negara anggotanya dengan ketentuan yag tercantum dalam Antidumping Code 1994. Sebagtai konsekuensi dari diratifikasinya agreement tersebut oleh Indonesia, maka Idonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan menyisipkannya dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Ketentuan tentang antidumping tercantum dalam bab IV Bagian Pertama pasal 18 sampai dengan pasal 20. Bab IV tersebut berjudul “BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBLAN”,sedangkan bagian pertama bersubjudul “Bea Masuk Antidumping”. Ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar dibentuknya peraturan pelaksana tentang antidumping Indonesia.
Walau demikian tidak semua antidumping menimbulkan masalah, tetapi dumping yang merugikan produsen dalam Negeri. Salah satu dumping yang merugikan adalah kasus dumping terigu yang bersal dari Turki. Masalah ini dimulai saat Komite Anti Dumping (KADI) Kementerian Perdagangan (2009) telah menetapkan beberapa eksportir atau produsen terigu Turki terbukti melakukan dumping atau tindakan unfair trade, melalui proses penyelidikan. Tindakan dumping produsen terigu Turki inilah yang menyebabkan kerugian industri terigu lokal. Berikut ini beberapa produsen atau eksportir terigu yang direkomendasikan terkena Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) :
a.     Bafra Eris Un Yem Gida San Ve, Tic, A.S kena 21,99%
b.     Erisler Gida Sanayi Ve Ticaret A.S kena 19,67%
c.     Marmara Un Sanayi A.S kena 18,69%
d.     Ulas Gida Un Tekstil Nakliye Ticaret Ve Sanayi A.S kena 20,86%
e.     Ulosoy Un Sanayi Ve Ticaret A.S kena 20,28%
f.      Eksportir dan produsen lainnya kena 21,99%

Tanggal 31 Desember 2009 Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu mengirim surat 2017/M-DAG/12/2009 kepada Menteri Keuangan soal usulan pengenaan BMAD produk terigu asal Turki. Kemudian pada tanggal 15 Januari 2010 Mendag kembali mengirimkan surat bernomor 90/M-DAG/SD/1/2010, kali ini soal masa berlaku soal pengenaan BMAD. Tanggal 12 April 2010 Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyampaikan surat B-119/Sekab/VI/2010 kepada Menko Perekonomian Hatta Rajasa, yang isinya bahwa pengenaan BMAD kurang sejalan dengan upaya untuk mencari peluang meningkatkan perdagangan dan upaya komitmen untuk memperbaiki dan memperkuat hubungan perdagangan dan ekonomi antara Indonesia dan Turki. Juga disampaikan bahwa jika BMAD produk terigu dikenakan kepada Turki maka akan menimbulkan saling ada pembalasan (retaliasi) sehingga menurunkan perdagangan kedua negara.
Berdasarkan rapat tim tarif kementerian keuangan tanggal 7 Juli 2010, telah disepakati bahwa tim tersebut merekomendasikan kepada menteri keuangan untuk mengenakan BMAD terhadap produk terigu Turki selama 5 tahun. Tanggal 19 Juli 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan arahan dalam sidang kabinet bahwa usulan pengenaan BMAD produk terigu Turki agar dibahas baik-baik dengan pemerintah Turki untuk mendapatkan solusi terbaik kedua a. negara.
Kemudian tanggal 26 Juli 2010 menteri keuangan mengirimkan surat S-358/MK.011/2010 kepada menteri perdagangan untuk meminta konfirmasi terkait saran apakah BMAD terigu Turki dikenakan atau tidak. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu tanggal 20 Januari 2011 membalas surat menteri keuangan melalui surat 71/M-DAG/SD/1/2011 yang intinya permintaan soal pembahasan BMAD terigu Turki antara Menteri Perdagangan dengan Menteri keuangan (menkeu). Kemudian Wakil Menkeu melakukan rapat pimpinan terbatas Kementerian Keuangan tanggal 18 Februari 2011. Hasilnya disepakati mengagendakan rapat koordinasi kemenko perekonomian , soal tindak lanjut BMAD terigu Turki. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) mengirim surat ke menteri keuangan tanggal 8 April 2011 bernomor 335/APT/rs/IV/11, yang meminta agar menteri keuangan segera menerbitkan peraturan menteri keuangan soal pengenaan bea masuk anti dumping terigu Turki.
Tanggal 11 Mei 2011 digelar rakor menko perekonomian yang dihadiri oleh Mendag dan Menkeu, yang hasilnya bahwa Menko Perekonomian akan mengkonsultasikan usulan pengenaan BMAD terigu Turki kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Berselang satu bulan lebih tanggal 23 Juni 2011 Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengirim surat bernomor S-351/MK.011/2011 ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait hal tersebut.[12]
Dilihat dari lama dan berbelit-belitnya proses penerapan suatu Bea Masuk Anti Dumping terhadap terigu Turki ini menimbulkan beberapa masalah karena kemungkinan besar di duga melanggar pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah yang menyatakan bahwa “penyelidikan oleh komite akan dilaksanakan dalam jangka watu paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak dimulainya penyelidikan”.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas menarik perhatian peneliti untuk membahas penelitian tentang “ KETIDAKSESUAIN PENANGANAN KASUS EKSPORT TERIGU DARI TUKRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN dan PERATURAN PEMERINTAH NO. 261/MPP/KEP/9/1996”.
Dalam penulisan ini penulis akan membahas kasus dumping terigu oleh Turki ini dari segi hukum dumping dan hukum Antidumping. Karena penulis berpendapat bahwa pada era globalisasi dimana tidak ada lagi batas-batas hambatan untuk setiap Negara melakukan hubungan kerjasama perdagangan dan semakin maraknya perdagangan bebas dan timbul persaingan-persaingan antara para pengusaha, dalam hal ini pengusaha Negara eksportir dan pengusaha Negara importir untuk memperoleh keuntungan, sehingga tidak jarang para pengusaha melakukan kecurangan dengan cara dumping dan dapat juga pengusaha importir melakukan kecurangan dengan menuduh suatu produk atau barang merupakan barang dumping. Oleh karena penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai permasalahan ini.

A.    PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan permasalahan yang perlu diteliti lebih lanjut. Adapun permasalah yang penulis angkat adalah :
1. Apakah benar terjadi dumping terigu yang dilakukan oleh turki tersebut merugikan Indonesia dan tidak lagi sesuai dengan fair trade sebagaimana di atur dalam World Trade Oganization?
2.  Bagaimana kesesuaian penganganan kasus ekspor terigu dari Turki dan perlindungan hukum bagi pengusaha dalam negeri atau penguasa di Negara importir?
3.     Apakah penyelesaian tersebut telah sesaui dengan peraturan pelaksana peraturan pemerintah no. 261/MPP/Kep/9/1996?

B.    TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

            Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian masalah tersebut diatas yaitu :
1.     Tujuan
a.     Untuk mengetahui tentang proses penyeledikan hingga tahap pemutusan antidumping yang terdapat di Indonesia.
b.     Untuk mengetahui apakah proses tersebut telah dilaksanakan secara benar dalam kasus expor terigu Turki yang telah berkepanjang ini.
2.     Kegunaan
     Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memenuhi segi prakis dan teoritis yaitu :
a.     Segi praktis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi para importer, eksportir, produsen, pemerintah dan masyarakat luas serta dapat berguna untuk menyelesaikan serta membantu permasalahan yang serupa.
b.     Segi teoritis, yaitu dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, informasi, bacaan, literature dan referensi mengenai masalah export import yang terkena tuduhan dumping.

C.   KERANGKA KONSEPTUAL
            Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Pada umumnya kerangaka konseptal mengutamakan definisi yang ada dari suatu permasalahan atau dengan kata lain konsep ini merupakan uraian mengenai hubungan-hubungan dengan fakta tersebut. Proses ini berjalan induktif dengan mengamati sejumlah gejala-gejala secara individual. Sejumlah gejala-gejala secara individual kemudian merumuskannya dalam bentuk konsep. Judul yang diangkat oleh penulis dalam penelitian ini adalah Dugaan Ketidaksesuain Penanganan Kasus Ekspor Terigu Dari Tukri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Dan Peraturan Pemerintah No. 261/Mpp/Kep/9/1996. Dari judul tersebut dapat ditarik variable-variabel yang merupakan kerangka konseptual dari penulisan karya ilmiah hukum ini.

            Ketidaksesuaian adalah Ketidaksesuaian adalah tidak dipenuhinya persyaratan yang telah ditetapkan pada suatu barang atau jasa atau proses.  Segala peratuan perundang-undangan yang seharusnya diterapkan tetapi dalam prakteknya ketentuan tersebut tidak dilakukan sehingga terjadi ketidaksesuaian dengan apa yang tertulis dan dengan apa yang terjadi dilapangan, dalam hal ini kasus-kasus konkrit yang terjadi di masyarakat.

            Penanganan kasus artinya langkah-langkah atau proses pemeriksaan, penyelidikan penyidikan hingga dikeluarkannya putusan atas suatu kasus. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan. Undang-undang ini merupakan bentuk ratifikasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia karena telah bergabung dalam WTO (World Trade Organissation), yaitu Agreement Establishing yang tercantum dalam Antidumping Code 1994. Ketentuan antidumping tercantum dalam bab IV bagian pertama pasal 18 sampai dengan pasal 20. Bab IV tersebut berjudul Bea Masuk Antidukping dan Bea masuk Imbalan. Sedangkan bagian pertama subjudul “Bea Masuk Imbalan” ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pembuatan peraturan pelaksanaan tentang antidumping Indonesia.[13]

D.   KERANGKA TEORITIS
            Kerangka teoritis merupakan acuan yang pada dasarnya mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti atau ilmuwan tertentu. Dalam kasus ini, penulis akan menggunakan teori serta prinsip-prinsip yang dirasa relevan yang terkait dengan topik penulis. Pada dewasa ini pasar dunia mengalami perubahan yang sangat besar antara lain ditandai dengan meningkatnya kecenderungan globalisasi ekonomi, khususnya di bidang industri dan perdagangan, serta meningkatnya intensitas persaingan bisnis. Di lain pihak, terjadi peningkatan proteksionisme yang terutama dilakukan oleh negara-negara maju, seperti munculnya dumping dan antidumping dalam perdagangan internasional.
            Tujuan pokok GATT atau WTO yaitu menciptakan liberalisasi perdagangan internasional. Dengan liberalisasi perdagangan internasional diharapkan perdagangan dunia akan terus berkembang dan selanjutnya seluruh kemakmuran optimal dunia akan di capai.  Secara garis besar prinsip-prinsip hukum GATT 1947 menginginkan perlakuan yang sama baik terhadap produk impor maupun produk domestik. Salah satu prinsip GATT yang kemudian tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan adalah prinsip nondiskriminasi yang mengandung tiga bentuk perlakuan terhadap barang yang dijual di pasar internasional. Menurut Prof. Wil. D. Verwey. Berakar dalam prinsip liberalism barat yang dikenal dengan Trinitas yaitu Principles of freedom (prinsip kebebasan). Pada prinsip-prinsip tersebut menganggap semua pihak sama kedudukannya.[14]
            Prinsip-prinsip yang akan digunakan oleh penulis untuk menjawab permasalah diatas antara lain :
1.     Teori Remedial, Untuk mengatasi praktik dumping, maka di dalam ketentuan GATT-WTO ditegaskan bahwa, apabila suatu negara terbukti melakukan praktik dumping yang dapat menimbulkan  kerugian bagi negara pengimpor, maka negara pengimpor  yang dirugikan oleh praktik tersebut mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi balasan. Sanksi balasan tersebut adalah berupa pengenaan bea masuk tambahan yang disebut dengan “bea masuk antidumping” yang dijatuhkan terhadap produkproduk yang diekspor secara dumping. Hal ini telah ditegaskan dalam Article VI section (2) sebagai berikut.
“in order to offset or prevent dumping, a contracting party may levy on any dumped product an antidumping duty not greater in amount than the margin of dumping in respect of such product. For the purpose of this Article, the margin of dumping is the price difference determined in  accordance with the provision of paragraph 1.”
Remedi perdagangan baik berupa Anti Dumping, Anti Subsidi maupun tindakan pengamanan (Safeguard), merupakan instrument kebijakan perdagangan internasional yang paling banyak digunakan oleh negara-negara importir anggota World Trade Organization (WTO) untuk melindungi industri dalam negerinya.
Secara umum pengertian remedi perdagangan mengacu kepada tindakan atau kebijakan pemerintah untuk menimalkan dampak negatif dari impor terhadap industri dalam negeri.Tindakan remedi  ini digunakan dalam dua kondisi baik yang dilakukan secara tidak jujur (unfair trade) maupun secara jujur (fair trade) tidak jarang dapat merugikan industri dalam negeri. Impor yang dilakukan secara tidak jujur dan merugikan industri dalam negeri adalah impor produk-produk asing dengan harga dumping, dan impor produk asing yang bersubsidi. Sedangkan impor yang dilakukan secara jujur tapi dapat merugikan industri dalam negeri adalah impor yang jumlahnya melonjak secara tepat dan tidak wajar. Jika industri dalam negeri dibiarkan untuk terlindas industri asing dengan cara membiarkan mereka melaukan praktek dumping dan subsidi serta membiarkan terjadinya lonjakan impor, maka dikhawatirkan akan berdampak pada kerugian perusahaan yang pada gilirannya akan mengarah pada Penghentian Hubungan Kerja (PHK).
2.     Dumping, suatu istilah yang digunakan dalam perdagangan internasional  adalah praktik dagang yang dilakukan eskportir dengan mejual komoditi di pasaran internasioanal dengan harga yang kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut dinegerinya sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.[15]
3.     Pengenaan bea masuk antidumping, pada akhir penyelidikan komite akan membutikan mengenai apakah telah terjadi adanya barang dumping yang menyebabkan kerugian atau tidak. Atas dasar usulan komite memperindag akan menentukan besarnya nilai tertentu untuk pengenaan bea masuk antidumping. Besarnya nilai tertentu ini dapat sama dengan marjin dumping yang disampaikan oleh komite atau lebih rendah. Atas dasar keputusan memeperindag, maka menteri keuangan akan menetapkan besarnya bea masuk antidumping. Bea masuk antidumping akan berlaku sejak ditetapkan oleh menteri keuangan dan berlaku paling lama 5 (lima ) tahun sejak keputusan tersebut. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku kewenangan dari menteri keungan hanya menetapkan besarnya bea masuk antidumping, tetapi tidak menjelaskan lebih lajut apakah maka menteri keungan berwenang atau tidak untuk mengatur dan meminta dilakukan pemeriksaan lain.
4.     Ekspor-impor merupakan dua hal yang berbeda dalam lingkup perdagangan internasional, ekspor diartikan sebagai pengeluaran atau membawa barang yang berasal dari pasar atau produk domestik (dalam daerah pabean) ke suatu tempat tertentu di Negara lain (luar daerah kepabean) dengan tujuan dipertukarkan atau dijual. Sedangkan impor adalah sebaliknya dari pada ekspor. Dengan demikian dalam dua pengertian tersebut terdapat system, prosedur, dan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi kedua belah pihak. [16]
5. Menteri keuangan dalam pengadminitrasian peraturan antidumping memiliki kewenangan :
a.     Menetapkan tindakan sementara yang dapat berupa
1)    Pembayaran bea masuk antidumping sementara
2)    Penyerahan jaminan dalam bentu uang tunai, jaminan bank, atau jaminan dari perusahaan asuransi.
b.     Mengakhiri tindakan sementara yang dapat berupa pengenaan bea masuk antidumping atau pencabutan tindakan sementara dan pengembalian pembayaran bea masuk anti dumping sementara atau pengembalian jaminan
c.     Menetapkan besarnya bea masuk antidumping
d.     Direktur bea dan cukai memiliki kewenangan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1)    Memungut bea masuk antidumping sementara dan bea masuk antidumping
2)    Menetapkan dan mengembalikan kelebihan pembayaran bea masuk antidumping sementara
3)    Menetapkan dan mengembalikan kelebihan bea masuk antidumping
             Dan hal ini menurut penulis perlu diselidiki lebih dalam, untuk meilihat apakah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri keuangan telah benar atau merupakan penyimpang dari pemberlakuan bea masuk antidumping.[17]
F.    METODE PENELITIAN
            Pada penelitian hukum ini penulis memilih untuk menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Metode penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian yang menggunakan bahan kepustakaan (library Research) untuk membahas permasalahan hukum yang ada. Metode penelitian yang dimaksud untuk memberikan bahan hukum yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta didukung dengan bahan-bahan pendukung. Bahan penelitan terdiri dari dua jenis yaitu bahan hukum dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait.  1. 1. Bahan-bahan hukum terdiri dari tiga macam yaitu :
a.     Bahan-bahan hukum primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yaitu :
1)    Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
2)    Undang-Undang Republik Inodenesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,
3)    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan
4)    Ketentuan Peraturan World Trade Organization (WTO)
b.     Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan primer terdiri dari : buku-buku, hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum, dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan serta berita-berita yang diperoleh di media internet. Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan yaitu  antara lain :
1)    hukum antidumping Indonesia dalam analisis dan praktik
2)     
pada penelitian ini penulis memakai 2 (dua), yaitu : pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan pada undang-undang (statute approach)
c.     badan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum. Bahan non hukum seperto kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Umum Bahasa Indonesia.
2. wawancara
penulis akan melakukan wawancara untuk memperkuat kebenaran akan permasalahan yang ada, pendapat dari beberapa pihak yang terkait serta pendapat dari pakar dalam bidang dumping.
a.     Komite Antidumping Indonesia
b.     Pekerja di bidang perdagangan luar negeri
c. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia

G.   SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I   PENDAHULUAN
            Berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan  dan kegunaan penelitian, kerangka konspetual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II  LANDASAN TEORI
            Dalam bab ini berisikan paparan teori yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam penulisan skripsi ini.

Bab III   DATA HASIL PENELITIAN
            Terbagi atas uraian permasalahan dumping dan hukum antidumping yang terjadi pada kasus impor terigu dari Turki yang merugikan perngusaha terigu di Indonesia.

Bab IV  ANALISIS
            Berisikan mengenai analisis hukum terhadap kebijakan hukum perdagangan internasioanal mengenai hukum antidumping.

Bab V  PENUTUP
            Dalam bab ini penulis memuat kesimpulan dan saran dari permasalahan skripsi mengenai Dugaan Ketidaksesuaian Penanganan Kasus Ekspor Terigu dari Turki Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 261/MPP/KEP/9.1996.
           



[1] Hambatan tarif adalah hambatan terhadap barang ke dalam suatu negara yang disebabkan diberlakukannya tarif bea masuk maupun tarif bea lainnya yang tinggi oleh suatu negara terhadap suatu barang. Hambatan nontarif ialah hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh tindakan selain penerapan tarif atas suatu barang, misalnya berupa penerapan standar tertentu atas suatu barang impor yang sedemikian sulit dicapai oleh para eksportir. Lihat A.Setiadi, Antidumping dalam Perspektif Hukum Indonesia, S&R Legal, Jakarta, 2011, hal. 1.
[2] Yulianto Syahya, Hukum Antidumping di Indonesia Analisis dan Panduan praktis, (Jakarta, Gahlia Indonesia, 2004) hal. 15
[3]  Huala Adolf, 2005, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar  Cetakan ke-5, (Bandung :CV Kenni Media) hal.5
[4] Ade Maman Suherman, Asperk Hukum Dalam Ekonomi Global, (Jakarta, Gahlia Indonesia, 2002), hal.  132.
[5] AF. Elly Erwati dan J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia, (Jakarta, proyek ELIPS, 1996), hal.39
[6] Op-Cit hal.3.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid.
[10] http://www.google.co.id/tanya/thread?tid=6829e3dff834a97d
[11] A. Setiadi, Antidumping dalam persprektif Hukum Indonesia, (Jakarta, S&R legal Co, 2001), hal. 11.
[12] http://www.tempo.co/read/news/2009/06/01/090179254/Kasus-Dumping-Terigu-Terus-Ditelusuri-Dimulai-dari-Turki
[13] A. Setiadi, Antidumping dalam Perspektif Hukum Indonesia, Jakarta: S&R Legal Co. hal. 11.
[14] Wil D. Verwey, The Establishment of a New International Economic Order and Realization of the Right to Development and Welfare, A Legal Survey, Geneva, 1980, hal. 17.
[15] AF. Elly Erawati dan J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia, (Jakarta, Proyek ELIPS, 1996), hal.39.
[16] Tut Wuri Handayani, 2009, Kementerian Pendidikan Nasioanal Direktoral Jendral Pendidikan Formal dan Informal Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan. Hal. 3.
[17]file://localhost/Users/shalarkosifitunfuik/Documents/Microsoft%20User%20Data/SEA/smester%206/dumping%20terigu/Merasa%20Dirugikan,%20Asosiasi%20Terigu%20Gugat%20Menkeu%20ke%20PTUN%20%C2%AB%20NERACA.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar